"Silahkan mengutip sebagian atau seluruh tulisan di blog ini dengan SYARAT mencantumkan penaripena.blogspot.com"

SAVE MY PALESTINE (II)

“Tuhan… tahukah Engkau… ah aku yakin Engkau yang paling pertama tahu.”

Pemuda itu berdiri menatap keatap yang sejenak berhenti menumpahkan debu. Pandangannya dalam seolah menerobos menembus ruang.

“Wahai sudara-saudaraku di negeri sana… apakah kalian juga tahu? tahukah… tahukah kalian jawab dari lisan najis perdana mentri bangsat-bangsat zionis ketika membela kebiadaban yang mereka lakukan di tanah kami?”

“Di depan kamera, perdana menteri tai itu dengan angkuh berkata: Semua yang kami lakukan di Gaza adalah untuk perdamaian, semua demi terciptanya perdamaian, semua guna melindungi rakyat kami dari serangan teroris hingga terciptalah kedamaian, ha…ha…ha… dia berdalih atas nama perdamaian.”

Pemuda itu tertawa hambar, seolah ia benar-benar sedang berhadapan langsung dengan perdana menteri Israel.

“Semua untuk untuk perdamaian, demi perdamaian, guna perdamaian Bah… busuklah kau di dasar neraka bersama dengan semua omong besar perdamaianmu itu, bersama dengan semua alasanmu busukmu itu.”

Warna air muka pemuda itu memerah, terlihat darah seolah tersedot habis dari seluruh tubuhnya oleh jantung yang berdetak kencang dan darah itu dihantarkan seluruhnya keatas kepala yang mendidih marah.

“Disini puing berserakan disegenap penjuru, itukah namanya perdamaian? Disini bau amis darah beradu dengan asap mesiu, itukah namanya perdamaian? Disini sudah banyak mayat, itukah namanya perdamaian? Disini banyak suara ledakan, itukah namanya perdamaian? Disini banyak letus tembakan, itukah namanya perdamaian? disini banyak erangan-erangan kesakitan, itukah semua yang disebut dengan perdamaian?”

Pemuda itu ambruk ke tanah, bersujud lemah dalam isak tangis, keheningan mencekam suasana disana.

“Wahai saudara-saudara seimankku”

Lirih suara keluar disela seguk tangisnya.

“Cobalah engkau sejenak rasakan bagaimana sakitnya hati seorang kakak, ketika mendengar adiknya yang masih kecil bertanya, adiknya yang masih belung mengerti arti kematian bertanya: kak… kapan Umi pulang, ade kangen sama umi, Abi sih kemana kak? Teman-teman ade sih kemana kak? kok ga ada yang datang ngajakin ade main lagi? Kak… perang itu apa sih kak? kenapa harus ada perang? Boleh ga kalau Ade ikutan perang?”

Seguk tangis semakin jelas terdengat dari pemuda itu, hantaman sakit sedang merajam hatinya dengan kejam.

“Coba… cobalah engkau rasakan sakitnya hati ketika mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, bisakah kalian merasakan seperti yang kurasakan dari pertanyaan-pertanyaan adikkku yang baru berhenti bertanya ketika sebutir peluru datang menembus tulang kepala dan menghancurkan seisinya di depan mataku sendiri beberapa saat yang lalu?

Keheningan dibalik seguk tangis kembali menjelma, sementara bunyi ledak bom-bom penghancur kembali terdengar dari atas.

“Saudaraku… dengarlah… dengarlah rintihan beribu suara serupa yang menggema dari setiap penjuru Palestina yang terpenjara ditengah kebiadaban yang menganga, rintihan beribu suara mereka yang terpenjara ditengah desah nyawa yang seolah tak lagi punya arti, terpenjara di tengah jerit warga Gaza, terpenjara ditengah porak-poranda negeri tercinta… Palestina”

“Lihatlah… diluar sana kalian bisa melihat hasil kebiadaban tentara-tentara anjing Israel… dengarlah… dengarlah suara-suara ledakan yang tidak pernah berhenti berbunyi siang dan malam. Coba bayangkanlah… bayangkan ketika mesin-mesin pembunuh membabi buta, mengamuk… menerjang… dan memburu pada ribuan rakyat kami, mengamuk pada kami yang tak bisa berbuat apa2, mengamuk pada kami yang terus merintih perih, mengamuk pada kami yang mengerang terpanggang panasnya bahan kimia yang mereka sertakan dalam senjata yang membakar hingga ke dalam tulang.”

Bersambung…

0 comments:

Posting Komentar