"Silahkan mengutip sebagian atau seluruh tulisan di blog ini dengan SYARAT mencantumkan penaripena.blogspot.com"

Pertemuan

"apakah itu pertemuan?" seorang pemuda bertanya kpd sufi-- tp sang sufi hanya menatap datar pemuda di depannya. diam.

"apakah itu pertemuan?" itu pemuda bertanya lg; mencoba tersenyum; membujuk. sang sufi tetap diam. lg2 hanya menatap datar.

"apakah itu pertemuan?" pemuda bertanya ke-3 kalinya. ke-4, ke-5, ke-6, ke-7, lantas menangis membujuk demi melihat sang sufi tetap diam: "tuan, aku berjalan ribuan kilo hanya untuk bertemu dgnmu. menghabiskan bulan-bulan sepanjang tahun ini hanya untuk mengerti makna satu kalimat itu? apakah pertemuan? mengapa Tuhan kadang seolah sengaja benar membuat kita bertemu dgn orang2 yg tidak ingin kita temui, tp sebaliknya malah tdk pernah bertemu dgn orang2 yg ingin kita temu...

"apakah itu pertemuan? mengapa sebuah pertemuan terkadang bisa memicu kembali seluruh kesedihan, kebencian, atau kegembiraan, rasa rindu, kenangan masa lalu. mengapa sebuah pertemuan bisa terjadi di situasi yang benar2 tdk terduga, tdk mungkin, dan tidak-tidak lainnya, tp ia tetap saja tega terjadi..."

"aku mohon, jawablah..."

sepeminuman teh hanya diam. sang sufi menunduk... si pemuda ikut menunduk. sudahlah, dia tak akan mendapat jawab, lbh baik dia pulang... tp persis saat si pemuda hendak bangkit, hendak pamit pulang, sang sufi entah kenapa membuka mulutnya...

"apakah itu pertemuan? apakah itu makna sebuah pertemuan?" suara sang sufi terdengar amat bijak, meski menghela nafas berat... "kau datanglah ke centro, margo city, tepat pukul 8.05 malam, jum'at, 18 Januari 2008, seratus tahun dr sekarang, di lorong2 rak kosmetik, di dekat counter perhiasan wanita... maka kau akan berkesempatan mengerti dgn memperhatikan hati-hati dua wajah yang salah-tingkah entah mau berkata apa ketika pertemuan yg mereka 'tidak inginkan' itu terjadi... simak perbincangan mereka, gesture tubuh mereka, wajah merah mereka, maka kau akan mengerti, ...itulah makna sebuah pertemuan..."

By: Tere-Liye
(bandung, Jan 20, '08 8:10 PM . lt3 sbh gedung-- hahaha, gw lg "terlalu" kreatif nih bikin puisinya, jd rada2 aneh...)


Read More...

Para Pemakan Bangkai

Kalian mau tahu rasanya membunuh? pasti diantara kalian belum pernah ada yang membunuh, kan? ah, payah... masak sudah seumuran kalian belum pernah membunuh? menghabisi nyawa manusia... jangan bilang selama ini cuma nonton doang film2? tertawa pas lihat adegan pembunuhannya lucu; jerih menjerit pas adegan pembunuhannya sadis; atau hanya menatap datar pas adegan pembunuhannya biasa2 saja; karena apapun reaksi kalian, tetap sj kalian tdk pernah merasakan sensasi membunuh seseorang secara langsung.

Bokap gw pernah membunuh. Tidak cuma satu, empat sekaligus. Dia dipaksa utk bergabung dgn pemberontakan PRRI/PERMESTA jaman dulu; dibawa ke hutan; diancam jika tidak mau, keluarga yg di kampung akan dihabisi. maka tidak ada pilihan. Malam itu dengan golok besar ditangan, bokap gw menyembelih 4 orang lainnya. kemudian kabur pulang ke kampung, lantas membawa keluarga mengungsi jauh2.

Sy juga pernah melakukannya. juga terpaksa. pertahanan diri. tp mau dibilang apa. sy sedang menikmati suasana malam kota x, saat dua orang preman begajulan itu menyudutkan di pojok remang2. gaya sekali mereka mengeluarkan pisau utk mengiris daging. memaksa mengambil kamera. mereka benar2 tdk tahu lg berurusan dgn siapa. besok pagi2 gw langsung melanjutkan perjalanan ke kota lain.

Tp membunuh seperti itu bukan apa-apa... ada yg jauh lebih tega. lebih biadab... kalian pernah dengar orang yg membunuh, lantas memakan daging orang yg dibunuhnya? bah, itu bukan monopoli sumanto semata... juga dengarlah cerita di kalimantan sana, tradisi ngayau (memotong kepala musuh) bukan omong-kosong. mereka menyerbu kampung musuh, lantas menghabisi seluruh warganya.. sampit. lihatlah foto2 yg tdk pernah dipublish. timbunan mayat di jalanan... mual lihatlah...

Membunuh dgn tangan sendiri. Merasakan sensasinya... meski itu dalam banyak kasus boleh jd sebuah kejahatan, gw tetap respect melihat pelakunya. bg gw, meski tuh pelaku dilempar ke neraka jahanam, setidaknya mereka membayarnya dgn sesuatu yg setimpal. mereka melewati proses kejahatan secara sadar... secara nyata...

tahukah kalian ada orang yg lebih menjijikkan, lebih biadab, tp tidak pernah menyadari kalau mereka telah melakukan kebiadaban tersebut secara besar2an?

kalian bayangkan, punya saudara mati... terus belatungnya berserakan, bayangkan kalian memakan bangkainya... berebutan dgn orang2 di sekitar. bukankah itu LEBIH BIADAB? dan itu terjadi setiap hari di sektar kalian.. bahkan kalianlah juga salah satu pelakunya.. hari ini, sadar atau tidak, bangsa ini sudah menjadi bangsa pemakan bangkai.. tontonannya ada dimana2.. kalian buka teve, 20-30% isinya soal gosip... tabloid2 laku keras... dan keluarga2 minat sekali menghabiskan waktu bersama2 berebutan daging bangkai...

“Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujurat: 12)

“Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ghibah?” Mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: “Kamu menceritakan tentang saudaramu apa yang dia tidak sukai.” Dikatakan kepada beliau: “Bagaimana pendapat engkau bila apa yang aku katakan ada pada saudaraku itu?” Beliau menjawab: “Jika apa yang kamu katakan ada pada saudaramu maka kamu telah mengghibahinya, dan jika apa yang kamu katakan tidak ada pada dirinya, maka kamu telah berdusta.”(Shahih, HR. Muslim no. 2589, Abu Dawud no. 4874, dan At-Tirmidzi no. 1435).

By: Tere-Liye
Bandung Feb 7, '08 11:30 PM; note: soal bunuh-membunuh itu anggap sj bohong.. di muat di paragraf awal biar yg baca ngeh betapa seriusnya harusnya masalah ini.

Read More...

penantian yg tak pasti..

Raga ne tak sekuat dulu lagi
Lelah terus menjamahnya
hingga terkulai lemah tak berdaya...
Menangis pun tak berarti
tertawa juga tak guna lagi..
Hanya berharap smoga ada yang peduli
tapi bukan mengemis yang kan dicari...

Wahai sang penghibur hati
apa tak kaurasakan hati ne memanggilmu
menjerit ingin ditemani
agar tak lagi merasa sepi dan sendiri...
Walau berjuta kata yang dilantunkan
walau jeritan terus dielukan
tapi..
tak satu pun yang peduli..
dan akhirnya kuhanya berharap pada malam sepi agar menemaniku dalam menjalani penantian yang tak pasti..

Read More...

Berpesankan Pesan, Berdoakan Doa

Wahai saudaraku,
Aku berpesankan pesan saudaraku,
Bagi siapapun yang membaca pesan
Dan membawakan pesannya untuk saudaramu

“Perbaikilah selalu ibadahmu”
“Tata dan terus sucikan hati”
“Perbanyak sujud malam dan shadakoh”
“Itulah ketenangan dan keberkahan hidup”.

Wahai saudaraku,
Aku berdoakan doa saudaraku,
Bagi siapapun yang membaca do’a
Dan membawakan do’anya untuk saudaramu

“Ya Allah,”
“Perkayalah saudara seimanku ini dengan ilmu”
“Hiasilah hatinya dengan kesabaran”
“Muliakanlah wajahnya dengan ketaqwaan”
“Perindahlah fisiknya dengan kesehatan”
“Cintailah ia seperti cinta-Mu pada para Syuhada”

“Ya Rabb,”
“Jagalah istirahatnya di keheningan malam”
“Selimutilah tidurnya dengan berkahmu”
“Bangunkan ia saat tahaju-Mu telah datang”
“Ingatkan ia saat subuh-Mu menyapa”
“Serta istiqamahkan saudaraku yang membaca”
“Dan meneruskan pesan dan do’a ini untuk saudaranya agar tetap dijalan-Mu”
“Amin…”


Purwokerto, 24 Desember 2008, 09:39
By: Upeheheee…

Read More...

Januari... Bulan Kasih Sayang

Allah semakin menyayangiku, tahu kenapa?
Karena Dia semakin memperhatikanku, dengan apa?
Dengan memberikan cobaan yang semakin meningkat kadar kesulitannya, apa yang dilakukan?
Aku bersyukur karena telah dipercaya-Nya untuk menjalani cobaan ini, artinya?
Maka merugilah jika aku tidak diberikan cobaan, kenapa?
Karena dengan begitu berarti Allah tidak sedang memperhatikanku, itu berarti?
Berarti Allah sedang cu-ex kepadaku, Jadi?
Kenapa juga aku harus berprasangka buruk pada-Nya dari cobaanku, oleh sebab itu?
Maka seharusnya senanglah aku dengan cobaan itu.
Awal dan akhir Januari 2009 adalah bulan cobaanku, yaitu?
Bulan kasih sayang Allah padaku, karena?
Ketika prasangka hampir menguasai seluruhku, disaat itu?
Pertolongan-Nya datang melalui pesan singkat sahabat yang sedang merantau di tanah Riau.
“Genk, Allah answer your prayer in three ways, He say “YES” and gives you what you want. He say “NO” and gives you something better. He say “WAIT” and gives you the best in his own time. Keep believe it!!!”
Thanks God!

Garut 25 januari 2009 pukul 21.00

Read More...

Begitu ibu yang bukan ibu kandungku berkata

Disela duka ia menyapa
“Sunyi tak berarti HILANG”
“Diam tak berarti LUPA”
“Jauh tak berarti PUTUS”
“Karena diantara kita ada ukhuwah”
“Yang teriring doaku untukmu”
Begitu ibu yang bukan ibu kandungku berkata.

Disela hampa ia berkata
“Ada hal hebat”
“Sangat menakjubkan”
“Menunggu untukmu jemput”
“Sesuatu yang sengaja Dia simpan untukmu”
“Tahukah wahai anakku”
”Bagaimana jalan untuk mencapainya?”
“Sabar dan ikhlas”
Begitu ibu yang bukan ibu kandungku berkata.

Disela kesedihan ia mendoakan
“Rabb, jagalah ia dalam kesehariannya”
“Kuatkan kakinya dengan rahmat-Mu”
“Tambahkan kecintaannya kepada-Mu”
“Buatlah ia tersenyum hingga kesurga-Mu”
“Amin…”
Begitu ibu yang bukan ibu kandungku berkata.


Garut, 24 Januari 2009, 20:21:02
From my sweetest mom

Read More...

Dia bukan ibuku tapi dia ibu bagiku

Ibu… begitu biasa kupanggil ia,
Tapi dia bukan ibu yang mengandungku,
Tapi dia ibu bagiku,
Tapi dia bukan ibu yang melahirkanku,
Tapi dia ibu bagiku,
Tapi dia bukan ibu yang menyempurnakan asi-nya untukku,
Tapi dia ibu bagiku,
Tapi dia bukan ibu yang merawat sedari kecilku,
Tapi dia ibu bagiku.

Ia tahu pondasiku sedang goyang hendak roboh,
Ia mengirimkan kekuatan lewat ucapannya,
“Ya allah, pagi ini aku mulai hariku dengan do’a, jagalah anakku, beri ia satu cinta-Mu, hapus kesedihan dari hatinya dan mudahkanlah urusannya, Amin…”
Begitu ucap ibuku
Tapi dia bukan ibu yang mengandungku dan melahirkanku dan menyempurnakan asi-Nya untukku dan merawat sedari kecilku.
Tapi buatku dia tetaplah IBU.


Garut 24 Januari 2009, 06:18:09
For my mom, Alimaturrosyidah.

Read More...

24 Januari 2009

Sepi…
Sunyi…
Sendiri…

Hampa menerpa ditengah ceria keluarga,
Duka menyiksa sisa masa yang belum menjelma,
Kosong menyaksikan penantian yang terpotong.

Semua menyerang bersama,
Bersekutu dengan waktu,
Merajam begitu kejam.

Rasa diseret dengan arus yang murka,
Menyisakan lubang yang menganga di akhir cerita,
Menerima nyata di jalan Ampera cinta menyempurnakan separuh agama.

Garut, 24 Januari 2009

Read More...

Sore Ini, Ucapnya

Sore ini,
Setelah susah payah menempuh
Seratus lima puluh kilometer perjalanan
Menembus hujan dan panas
Membelah angin dan debu

Sore ini,
Langit sudah menguning
Lapis awan ikut menghias
Matahari terlihat memunggungi
Matikan terang bangunkan gelap,

Sore ini,
Jalan Ampera menjadi saksi
Jatuhnya air dari kelopak hati
Menatap kediaman sang bidadari
Mengantarkan novel hadiah terakhir

Sore itu,
Terputuslah juang kesabaran
Terhentilah hitam-putih penantian
Selamat jalan wahai bidadari
Selamat mengabdi pada belahan hati

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”
Ucapnya
“Gerry, bukuna tos katampi”
Ucapnya
“Hatur nuhun pisan”
Ucapnya
“Subhanallah”
Ucapnya
“Antum tos gaduh karya nu seueur”
Ucapnya
“Semoga Allah senantiasa member kemudahan pada antum”
Ucapnya
“Untuk terus berkarya”
Ucapnya
“Hapuntena”
Ucapnya
“Tina samudaya kalepatan”
Ucapnya


Tasikmalaya, 20 Januari 2009, 17:24

Read More...

Aku Lelah

Ada Angin berbisik menabuh gendang telinga
Membawakan berita duka
Dari wanita terindahku nun jauh disana

Seketika kegalauan hati bertalu
Menandakan telah sampailah kini ujung lelahku
Atas panjangnya penantian yang terlalu lama menunggu

Akhirnya harus kurelakan juga tuk kehilangan
Dijauhi cinta sejati yang lama kunanti
Dan waktu seumur hidup diminta hati tuk bisa melupakannya

Aku lelah…
Aku sudah kalah…
Aku menunggu musnah…


Purwokerto, 16 Januari 2009, 17:38:54

Read More...

Jawabku

Sahabat,
Aku terlalu lelah…
Aku sudah kalah…
Aku menunggu musnah…

Ia panik mendengar ucapanku,
Ia resah mencerna kata-katakku,
Ia kalut terbalut rasa takut akan keadaankku.

Perang dengan siapa?
Musuhmu siapa?
Separah apa luka-lukamu?

Isi hati, jawabku
Angan diri sendiri, jawabku
Terlalu parah untuk dijelaskan, jawabku


Riau, 16 Januari 2009, 18:15:26

Read More...

Pensilmu, Penghapus-Nya

Kau
Boleh
Tuliskan
Rencanamu
Dengan sebuah
Pensil

Tapi
Berikan
Penghapusnya
Pada Allah

Biarlah
Allah menghapus
Bagian yang salah
Dan menggantikan
Dengan rencana-Nya
Yang indah

Majalengka, 03 Januari 2009, 17:02
Adensor

Read More...

Bayi Lahir Bulan Mei '98

Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta

Kalau dia jadi petani di desa
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing

Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga
Mulutmu belum selesai bicara
Kau pasti dikencinginya.

Taufik Ismail

Read More...

BAGAIMANA KALAU

Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam,
tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,

Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan
margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.

Taufik Ismail, 1971

Read More...

Ibu

Walau beribu kata
Menggema dalam berjuta tinta
Tetap takkan cukup
Tuk menjelaskan keindahan
Dan keagungan namamu IBU

Seraya membungkukkan badan
Dengan takzim dalam penghormatan
Kuucapkan
“Selamat atas anugerahmu sebagai wanita”
“IBU para punggawa bangsa dan agama”
“Selamat harimu IBU”


Purwokerto, 22 Desember 2008, 07:33
Untuk memperingati hari ibu

Read More...

Kau Ini Bagaimana

Kau ini bagaimana
Atawa aku harus bagaimana
Kau ini bagaimana, kau bilang aku merdeka, kau memilihkanku segalanya
Kau suruh aku berfikir, aku berfikir kau tuduh aku kafir
Aku harus bagaimana,

Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai
Kau ini bagaimana,

Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku,
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plinplan
Aku harus bagaimana

Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku
Kau ini bagaimana

Kau suruah aku takwa, khutbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya
Aku harus bagaimana

Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain
Kau ini bagaimana

Kau bilang tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai
Aku harus bagaimana

Aku kau suruh membangaun, aku membangun kau merusakannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya
Kau ini bagaimana

Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah
Aku harus bagaimana

Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap wallahualam bisssowab
Kau ini bagaimana

Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku
Aku harus bagaimana
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu
Kau ini bagaimana

Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis
Aku harus bagaimana

Kau bilang krtitiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja
Kau ini bagaimana

Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku
Kau ini bagaimana,
Atau aku harus bagaimana


Mustofa Bisri, 1987

Read More...

Himne Zionis

Terkutuklah wahai engkau Zionis Israel
Namamu akan selalu hidup dalam siksa Jahanam
Semua ulahmu akan terukir dipintu Neraka
Bagai prasasti trimakasihku tuk pembalasanmu

Engkau bagai kegelapan di dalam pelita
Engkau laksana titisan setan dalam kehancuran
Engkaulah musuh seluruh umat… islam dunia


Purwokerto, 19 januari 2009, 20:30

Read More...

SAVE MY PALESTINE (III)

“Wahai saudara-saudaraku di seberang sana, wahai mereka yang masih bisa tidur di malam hari dengan nyaman, wahai mereka yang masih bisa menyantap makanan setiap hari, wahai mereka yang masih mengenal senyum, tawa dan canda.”

Warna air muka pemuda itu kembali memerah, urat-urat terlihat menonjol menghiasi wajah dan lehernya.

“Wahai saudara-saudaraku yang disatukan baginda Rasul Muhammad saw dengan sabdanya bahwa setiap kaum muslimin adalah saudara, dimana kalian? Dimanakah kalian? Saudaraku… tahukah kalian apa yang sedang menimpa saudaramu disini? Tahukah kalian rasa dari bunyi letusan bom-bom penghancur yang berjatuhan yang dalam sekejap membuat potongan-potongan tubuh berterbangan, serpihan daging berhamburan”

Tiba-tiba pemuda itu berteriak-teriak histeris sesaat setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya, tubuhnya sempoyongan mundur ke sudut ruang, ia ambruk disana, matanya terpejam, kedua tanganya menutup telinga, nafasnya tersenggal hebat, teriakan-teriakan histeris terus menggema di dalam ruang itu, ia laksana orang kesurupan… atau ketakutan... atau apalah, yang jelas darinya begitu jelas terlihat aura trauma yang menganga, menteror setiap desah nafas yang keluar dari mulut dan hidungnya.

Potongan-potongan episode masa yang telah dilalui masih terlihat jelas mencengkramnya dengan kuku-kuku trauma yang ganas menusuk-nusuk hati dan fikirannya. Desah nafasnya semakin tak terkendali, namun teriakan-teriakannya mulai sedikit melemah, hingga akhirnya lelah menyadarkannya bahwa ia sedang dikuasai perasaan, dikuasai sesuatu yang sebenarnya tak pantas ia takutkan.

“Tubuh-tubuh tiada yang utuh, darah bersimbah tergenang dimana-mana, lolongan pilu terdengar dari mereka yang terpanggang dibalik rumahnya yang terbakar, lengkingan orang-orang terjepit remuk diantara bangunan-bangunan roboh, ibu-ibu lunglai menatap anaknya berlumuran darah tak bernyawa, anak-anak melolong-lolong mencari ayah ibunya yang telah hancur binasa, kelaparan, kehausan, dan penderitaan tak terperikan merajalela di mana-mana. Milukah hati kalian melihat kondisi saudaramu ini, teiriskah perasaan kalian, robekkah nurani kalian? Dimana tangan kalian wahai saudara seimanku… dimana kaki kalian, dimana suara kalian… “

Ketenangan mulai mendatanginya, ia menatap lamat ke langit-langit yang kembali memuntahkan debu akibat getaran yang ditimbulkan diatasnya.

“Saudaraku…. Apakah engkau mendengar jerit kami dari sini, mendengar tangis kami dari sini, mendengar do’a kami dari sini. Percayalah saudaraku… kami disini masih kuat, kami disini masih bias bertahan, dan kami disini takkan pernah gentar melakukan perlawanan, tahu kenapa hai saudaraku? karena di pelupuk mata kami, setiap detik adalah saat dimana mati syahid datang menjemput, mengantarkan ke agungnya janji Illahi, di dalam indahnya Surgawi.”

“Maka prihatinlah mereka yang masih tertidur lelap diatas kasurnya, yang menyantap lahap sarapannya, yang tersenyum, tertawa dan bercanda bersama keluarga, karena setiap detik kehidupan mereka hanyalah nikmat dunia yang fana, namun disini, setiap detik adalah janji Illahi untuk Surgawi dalam indahnya kematian sebagai syuhada.”

“Hai saudara muslimku di seluruh belahan dunia, perjuangan harus dilanjutkan, tak boleh terhenti hingga disini, karena mereka semua takkan berhenti sebelum semua umat Islam mengikuti mereka, ketahuilah… senjatamu ada dalam doa yang mengalir dari seluruh penjuru dunia, senjatamu ada dalam sumbangan harta untuk kami dan keturunan kami, senjatamu ada dalam berbagai bantuan pada kami, laukanlah apa yang masih bisa kalian lakukan.”

Terdengar suara hentakan-hentakan sepatu berlari dari ujung terowongan menuju kearah pemuda itu, seketika…

“Don’t Move!”

Lima orang tentara Zionis mengarahkan senapan bertanda lasernya ke arah kepala, dada, dan kedua pemuda itu.

“Wahai saudara-saudara yang telah mendahuluiku”

Pemuda itu tersenyum.

“Aku segera menyusulmu… wahai baginda rasulku, jemputlah aku di gerbangmu… wahai Tuhanku, aku datang kehadapan-Mu.”

“Ashaduala ilaha ilallah waashadu anna muhammadar rasulullah.”

Dua kalimat syahadat itu menggetarkan dada sang pemuda, ia jongkok mengambil sebongkah batu yang tergeletak di samping kaki kananya.

“Allahu akbar!!!”

Batu itu melayang mengenai kepala salah satu tentara Zionis hingga ia terjungakal kebelakang.

“Dar!!! Dar!!!”

Suara dua senapan meletus diikuti hentaman timah panas yang mendarat di kedua kaki pemuda itu, ia ambruk bersanggakan kedua lutut, pemuda itu mengambil kembali batu di sampingnya hendak melemparkan batunya lagi kea rah terntara Zionis itu.

Dar!!! Dar!!! Dar!!!

Dua peluru bersarang di batok kepala, dua bersarang di dada sisi kiri dan kanan pemuda itu.

Pemuda itu tersenyum,
Pemuda itu ambruk,
Pemuda itu syahid.

Tamat.

Read More...

SAVE MY PALESTINE (II)

“Tuhan… tahukah Engkau… ah aku yakin Engkau yang paling pertama tahu.”

Pemuda itu berdiri menatap keatap yang sejenak berhenti menumpahkan debu. Pandangannya dalam seolah menerobos menembus ruang.

“Wahai sudara-saudaraku di negeri sana… apakah kalian juga tahu? tahukah… tahukah kalian jawab dari lisan najis perdana mentri bangsat-bangsat zionis ketika membela kebiadaban yang mereka lakukan di tanah kami?”

“Di depan kamera, perdana menteri tai itu dengan angkuh berkata: Semua yang kami lakukan di Gaza adalah untuk perdamaian, semua demi terciptanya perdamaian, semua guna melindungi rakyat kami dari serangan teroris hingga terciptalah kedamaian, ha…ha…ha… dia berdalih atas nama perdamaian.”

Pemuda itu tertawa hambar, seolah ia benar-benar sedang berhadapan langsung dengan perdana menteri Israel.

“Semua untuk untuk perdamaian, demi perdamaian, guna perdamaian Bah… busuklah kau di dasar neraka bersama dengan semua omong besar perdamaianmu itu, bersama dengan semua alasanmu busukmu itu.”

Warna air muka pemuda itu memerah, terlihat darah seolah tersedot habis dari seluruh tubuhnya oleh jantung yang berdetak kencang dan darah itu dihantarkan seluruhnya keatas kepala yang mendidih marah.

“Disini puing berserakan disegenap penjuru, itukah namanya perdamaian? Disini bau amis darah beradu dengan asap mesiu, itukah namanya perdamaian? Disini sudah banyak mayat, itukah namanya perdamaian? Disini banyak suara ledakan, itukah namanya perdamaian? Disini banyak letus tembakan, itukah namanya perdamaian? disini banyak erangan-erangan kesakitan, itukah semua yang disebut dengan perdamaian?”

Pemuda itu ambruk ke tanah, bersujud lemah dalam isak tangis, keheningan mencekam suasana disana.

“Wahai saudara-saudara seimankku”

Lirih suara keluar disela seguk tangisnya.

“Cobalah engkau sejenak rasakan bagaimana sakitnya hati seorang kakak, ketika mendengar adiknya yang masih kecil bertanya, adiknya yang masih belung mengerti arti kematian bertanya: kak… kapan Umi pulang, ade kangen sama umi, Abi sih kemana kak? Teman-teman ade sih kemana kak? kok ga ada yang datang ngajakin ade main lagi? Kak… perang itu apa sih kak? kenapa harus ada perang? Boleh ga kalau Ade ikutan perang?”

Seguk tangis semakin jelas terdengat dari pemuda itu, hantaman sakit sedang merajam hatinya dengan kejam.

“Coba… cobalah engkau rasakan sakitnya hati ketika mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, bisakah kalian merasakan seperti yang kurasakan dari pertanyaan-pertanyaan adikkku yang baru berhenti bertanya ketika sebutir peluru datang menembus tulang kepala dan menghancurkan seisinya di depan mataku sendiri beberapa saat yang lalu?

Keheningan dibalik seguk tangis kembali menjelma, sementara bunyi ledak bom-bom penghancur kembali terdengar dari atas.

“Saudaraku… dengarlah… dengarlah rintihan beribu suara serupa yang menggema dari setiap penjuru Palestina yang terpenjara ditengah kebiadaban yang menganga, rintihan beribu suara mereka yang terpenjara ditengah desah nyawa yang seolah tak lagi punya arti, terpenjara di tengah jerit warga Gaza, terpenjara ditengah porak-poranda negeri tercinta… Palestina”

“Lihatlah… diluar sana kalian bisa melihat hasil kebiadaban tentara-tentara anjing Israel… dengarlah… dengarlah suara-suara ledakan yang tidak pernah berhenti berbunyi siang dan malam. Coba bayangkanlah… bayangkan ketika mesin-mesin pembunuh membabi buta, mengamuk… menerjang… dan memburu pada ribuan rakyat kami, mengamuk pada kami yang tak bisa berbuat apa2, mengamuk pada kami yang terus merintih perih, mengamuk pada kami yang mengerang terpanggang panasnya bahan kimia yang mereka sertakan dalam senjata yang membakar hingga ke dalam tulang.”

Bersambung…

Read More...

SAVE MY PALESTINE (I)

Bom kembali meledak di atas sana, ruang bawah tanah itupun kembali memuntahkan debu dan pasir dari langit-langit ruang karena getaran bom yang menghancurkan sekitarnya mengguncang dengan suara yang memekakkan gendang telinga. Disana terbatuk-batuk Seorang pemuda bercelana putih, berbaju putih, ah tidak… bajunya tidak putih, tetapi merah putih, putih adalah bahan dasar kainnya dan merah adalah aksesoris sablonnya, sablon yang dibuatkan langsung oleh tentara-tentara biadab Israel, sablon itu digambar dengan sebutir peluru panas yang ditusukkan di tangan kanan atas sang pemuda, dan jadilah baju putih itu bersablonkan lukisan abstrak berwarna merah dengan cat yang terbuat dari darah sang pemuda.

“Perang lagi, membunuh lagi, dibunuh lagi, kapankah saatnya tiba ketika semua merasa bosan dengan kata-kata itu? Kapankah semua berita hari ini, kemarin, lusa, dan esok hari tidak membicarakan tentang itu? Tentang pembantaian yang kian membabi buta, tentang korban beribu yang meregang kesakitan dan kemudian kehilangan nyawa?”

Pemuda itu mengeluarkan belati yang diselipkan dibalik sabuk yang melingkar di pinggangnya, perlahan namun pasti, ia mengiris daging tangan kanannya yang tertembus peluru sedikit demi sedikit, ia meringis kesakitan, irisan belatipun terhentikan, menarik nafas panjang sebentar kemudian diiriskannya kembali belati itu di daging tangan kanannya.

“Tuhan… dengarlah Tuhan… tolonglah kami! Hentikanlah perang ini sekarang juga! Lihatlah… lihatlah… tanah kami telah menjadi basah, kubangan-kubangan darah diatas tanah menjadi pemandangan ditengah keringnya air mata rakyat Gaza.”

Sekilas terlihatlah sebuah benda bulat kecil, lebih kecil daripada kelereng. Warnanya samar-samar kekuningan tertutup oleh balutan air berwarna merah berbau amis yang terus berontak keluar dari dalam daging yang terkoyak tak beraturan.

Mata pemuda itu berlinang air, bukan… itu bukanlah air mata ketakutan, terlebih air mata kesedihan, air itu keluar untuk menghormati sang tuan yang sedang menahan sakitnya rasa dari daging yang terkoyak tajam belati.

“Allahu Akbar!!!”

Pemuda itu merogohkan ibu jari dan telunjuknya pada luka itu, mencengkram sekuat ia bisa dan menarik perlahan butir peluru yang tertanam di tangan kanannya.

Darah terus meleleh dari gorong daging yang ditinggalkan peluru itu, keringat dingin, keringat panas, keringat kecil dan keringat besar keluar dari hampir seluruh pori-pori kulit sang pemuda. Kami semua ingin menyaksikan ketegaran tuan kami, itulah seolah-olah yang dikatakan oleh keringat-keringat itu sehingga mereka berbondong-bondong keluar dari pori.

Benderah palestina yang tersusun oleh warna merah membentuk segitiga di pangkal, warna hitam membentuk persegi panjang diatas, warna hijau membetuk persegi panjang di bawah, serta warna putih yang juga membentuk persegi panjang di tengah, dilepaskan pemuda itu dari posisinya yang mengikat kepala, dengan tangan kiri dan bantuan cengkram gigi, bendera itu dibalutkan pada luka tangan kanan yang dioperasi sendiri untuk mengangkat peluru yang menembus daging tangannya.

Nafasnya tersenggal menahan sakit, tak ada dokter, tak ada perawat, tak ada meja operasi, bahkan tak ada obat bius sama sekali, yang ada hanyalah gelap, pengap dan runtuhan debu dari atap.

“Tuhan…tak miriskah Engkau mendengar saudara-saudaraku di pengungsian bertanya pada sesama mereka yang juga sama-sama ingin mengajukan pertanyaan yang sama”

“Dimanakah jasad anakku yang mati?”
“Dimanakah jasad isteriku yang mati?”
“Dimanakah jasad ibuku yang mati?”
“Dimanakah jasad adikku yang mati?”
“Dimanakah jasad temanku yang mati?”
“Dimanakah jasad keadilanku yang mati?”
“Dimakanah jasad kemerdekaanku yang mati?”

“Bisakah Engkau dengar beribu rintih pertanyaan serupa yang menggema dari stiap penjuru Palestina? Ah… Aku yakin Engkau yang paling pertama mendengar karena Engkau memang Yang Maha Mendengar.”

Bersambung…

Read More...

M.A.T.I

satu kata yang membuatku TERDIAM
satu kata yang membuatku TERPERANJAT
satu kata yang membuatku TERSADAR

seolah tak pernah ingat akan sebuah kebesarannya
seolah tak pernah ingat akan puji-puja untuknya

apapun itu
siapapun itu
dimanapun itu
kapanpun itu
selalu saja terlambaikan oleh kata itu

TAK KENAL USIA !!!

TAK KENAL GENDER !!

puisi-puisi berhargapun mungkin lenyap akan jaman

MATI !!!!

MATI !!!!

hufff sudah aku tak sanggup lagi

akuuu

akuu

aku

ak

a


MATI.....

Read More...

Aku Lelah...

Ada Angin berbisik di gendang telinga
Membawa berita
Tentang wanita terindahku

Seketika kegalauan hati meraja
Telah sampailah kini ujung lelahku
Atas hamparan penantian yang terlalu lama

Akhirnya harus kurelakan
Kehilangan cinta sejati
Walau melupakannya akan minta waktu seumur hidup

Aku lelah
Aku kalah
Aku musnah

Read More...