"Silahkan mengutip sebagian atau seluruh tulisan di blog ini dengan SYARAT mencantumkan penaripena.blogspot.com"

Menjadi seperti anak kecil

Berpikir dan berlaku seperti anak kecil sungguh simpel dan menyenangkan; 
~ Berbahagia tanpa perlu alasan (mereka sering senyum tertawa sendiri berlari kesana kemari jerit sana sini). 
~ Sibuk dengan apa yang ada dalam genggaman (Tidak perduli dengan sekitar selama belum puas dengan apa yang dikuasainya). 
~ Bersikeras meraih semua yang diinginkan dengan segala potensi yang dimilikinya (saat kelembutannya tidak menghasilkan apa yang diminta, ia akan mulai memelas, kemudian menangis, bahkan menjerit hingga alam membuatnya terdiam dengan pengabulan).

Wahai Tuhan semesta alam, Engkau bahkan memberi kami pelajaran dari mereka yang belum difungsikan akal penalaran, sementara kami yang mengaku kaum yang sudah hebat berfikir lalai dengan hal-hal sesederhana itu.

Wahai Yang segala sesuatu dalam genggaman-Mu, buatlah kami selalu tersenyum bahagia walau tanpa alasan selain karena senantiasa tertaut ingatan pada-Mu. Jadikan kami tidak perduli dengan segala perhiasan duniawi yang menggoda cukuplah kami disibukkan dengan apa yang kami miliki dari keterkaitan dengan-Mu. Bimbinglah kami untuk terus bersikeras mendekati-Mu, tidak hanya dengan jalan syari'at, namun juga dengan tarikat, hakikat, hingga makrifat

St. Lempuyangan
221120

Read More...

Dahsyatnya Bershalawat

Pada kitab Dalail Al-Khoirot, karya Al-Imam Al-Quthub As-Syekh Abi 'Abdillah Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuliy Al-Hasani disebutkan,
"Apabila seorang hamba bersholawat, maka sholawat itu akan keluar dari mulutnya secepat kilat dalam bentuk cahaya, dan cahaya itu mengelilingi seluruh penjuru barat dan timur sambil berteriak "Aku adalah sholawatnya fulan bin fulan"
Lalu sholawat itu Allah jadikan seekor burung yang mempunyai 70 ribu sayap, dalam 1 sayap ada 70 ribu kepala, dalam 1 kepala ada 70 ribu wajah, dalam 1 wajah ada 70 ribu mulut, dalam 1 mulut ada 70 ribu lidah, dan setiap 1 lidah bertasbih dengan 70 ribu bahasa yang pahalanya untuk orang yang bersholawat.

Malaikat Jibril AS berkata,
”Wahai Rasulullah, Barang siapa yang membaca shalawat ke atasmu, tiap-tiap hari sebanyak sepuluh kali, maka akan aku bimbing tangannya dan akan aku bawa di melintasi titian (Shirathal Mustaqim) seperti kilat menyambar”.

Malaikat Mikail AS,
”Ya Rasulullah, mereka yang bersholawat keatasmu, akan aku beri mereka itu minuman dari telagamu.”

Malaikat Isrofil AS,
”Mereka yang bershalawat kepadamu, aku akan sujud kepada Allah SWT dan aku tidak akan mengangkat kepalaku, sehingga Allah SWT mengampuni orang itu (yang bershalawat)”.

Malaikat Izrail AS,
”Bagi mereka yang bershalawat kepadamu, akan aku cabut ruh mereka itu dengan selembut-lembutnya seperti aku mencabut ruh pada Nabi-nabi”.

Dalam kitab Al-Mustadrak Syeikh An-Nuri, jilid 5: 355, hadist ke 72 diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Disaat aku tiba di langit di malam Isra’ Miraj, aku melihat satu malaikat memiliki 1000 tangan, di setiap tangan ada 1000 jari. Aku melihatnya menghitung jarinya satu persatu. Aku bertanya kepada Jibril as, pendampingku,
"Siapa gerangan malaikat itu, dan apa tugasnya?"
Jibril berkata, "Sesungguhnya dia adalah malaikat yang diberi tugas untuk menghitung tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi".
Rasulallah saw bertanya kepada malaikat tadi,
"Apakah kamu tahu berapa bilangan tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi sejak diciptakan Adam as?"
Malaikat itupun berkata,
"Wahai Rasulallah saw, demi yang telah mengutusmu dengan hak (kebenaran), sesungguhnya aku mengetahui semua jumlah tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi dari mulai diciptakan Adam as sampai sekarang ini, begitu pula aku mengetahui jumlah tetesan yang turun ke laut, ke darat, ke hutan rimba, ke gunung-gunung, ke lembah-lembah, ke sungai-sungai, ke sawah-sawah dan ke tempat yang tidak diketahui manusia."
Mendengar uraian malaikat tadi, Rasulullah saw sangat takjub atas kemampuannya dalam menghitung tetesan air hujan.
Kemudian malaikat tadi berkata kepada beliau,
"Wahai Rasulallah saw, walaupun aku memiliki seribu tangan dan sejuta jari dan diberikan kepandaian untuk
menghitung tetesan air hujan yang yang turun dari langit ke bumi, tapi aku memiliki kekurangan dan kelemahan"
Rasulallah saw pun bertanya,
"Apa kekurangan dan kelemahanmu ?"
Malaikat itupun menjawab,
"Kekurangan dan kelemahanku, wahai Rasulallah, jika umatmu berkumpul di satu tempat, mereka menyebut namamu lalu bershalawat atasmu, pada saat itu aku tidak bisa menghitung berapa banyaknya pahala yang diberikan Allah kepada mereka atas shalawat yang mereka ucapkan atas dirimu."

Di dalam Kitab Mukasyafatul Qulub karya Imam Al-Ghozali disebutkan,
Telah datang kabar dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam sesungguhnya Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan malaikat yang mempunyai satu sayap di timur dan satu sayap di barat, kepalanya di bawah Arsy, kedua kakinya berada di bawah bumi ke tujuh dan malaikat ini mempunyai bulu sebanyak hitungan makhluk-Nya Allah Ta’ala.
Ketika salah seorang dari umatku baik laki-laki maupun perempuan membaca shalawat kepadaku, maka Allah Ta’ala memerintahkan kepada malaikat tersebut untuk menceburkan diri ke dalam lautan dari cahaya yang berada di bawah Arsy.
Lalu malaikat menceburkan diri kedalamnya kemudian keluar dan mengkibas-kibaskan sayapnya, maka meneteslah dari setiap bulu satu tetes.
Kemudian Allah Ta’ala menciptakan dari setiap tetesnya satu malaikat yang memintakan ampun untuk orang yang membaca shalawat tadi sampai hari kiamat."

Allahumma sholli ala sayyidina Muhammadin wa alihi wa shohbihi wa ummatihi wa sallim.

#IndonesiaBershalawat

Read More...

Raja Diraja

Sungguh, di punggungnya, di lengannya, di pipinya, tidak jarang terlihat bekas alas tidurnya yang terbuat dr kulit yg disamak sementara isinya adalah pelapah kurma.

"Inikah singgasana Raja Diraja? Sementara para Raja Persia dan Romawi yang tunduk di bawah kekuasaanmu berlimpah dengan segala kekayaan di sisi mereka?" Tanya sahabatnya sembari meneteskan air mata menyaksikan sang Raja Diraja dengan apa yang dimilikinya.

Beliau tersenyum, memancarkan cahaya kasih sayang. "Tidakkah engkau berbahagia karena Allah akan memberikan akhirat pada kita, sementara Allah hanya memberikan kepada mereka dunia yang hina?“

Shallallaahu 'ala Muhammad...
#IndonesiaBershalawat

Read More...

Melihat Rasulullah dalam Tidur

Mereka yang Allah SWT muliakan dengan bermimpi melihat Rasulullah SAW dalam tidurnya, merupakan keutamaan, kemuliaan, kebaikan, dan keuntungan baginya. Dan merupakan derajat yang paling besar yang dicita-citakan oleh setiap orang yang mencintai Rasulullah SAW dan berani menebusnya dengan segala yang dimilikinya, baik dengan jiwa maupun dengan segala sesuatu yang dimilikinya, sesuatu yang berharga dari hal-hal yang bersifat dunia. Dia menjadikan kecintaan kepada Rasulullah SAW lebih utama daripada segala apa yang dimilikinya. 

Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian sebelum aku lebih dicintainya melebihi daripada dirinya, hartanya, anaknya, orang tuanya, dan manusia seluruhnya." (HR. Bukhari).

Dinukil dari kitab Maghnathisil Qabul Fîl Wushul Ila Ru'yati Sayyidar Rasul SAW, Karya Hasan Muhammad Abdullah Syaddad bin Umar Ba'mar

Read More...

Selamat Ulang Tahun, Wahai kasihku Rasulullah….

Shalallahu ‘ala Muhammad, shalallahu ‘alaihi wa sallim.

Para pembaca yang dirahmati Allah, jika engkau memiliki perasaan rindu kepada Rasulullah Saw, ketahuilah bahwa itu adalah anugerah dari ikatan erat yang nyata. Ditanamkannya kerinduan adalah kasih sayang Rasulullah SAW kepada umatnya, berbahagialah bagimu jika sudah terhubung dengan sebaik-baik kecintaan kekasih Allah. 

Dimudahkan bagi para pencinta untuk menemui kecintaannya, setiap gerak hidupnya dicerminkan dengan kekasihnya. Lisannya adalah nama pujaannya, denyut nadinya adalah tautan pikiran terhadap junjungannya. 

Maka, lesatkan rindumu sejauh ketinggian tak terukur bilangan. Maka, hujamkan sayangmu sedalam dasar tak berujung pijakan. Didik lisanmu sendiri seolah ia difungsikan Allah hanya untuk menyeru nama Rasulullah, ajari hatimu hingga tidak tersisa ruang untuk selain Nabiyullah Musthofa. 

Fahami dengan mutlak bahwa para pencinta dan perindu senantiasa ada dalam perhatian Nabi, dan shalawat adalah tali ikatan terbaikmu kepada Rasulullah Saw. Sementara diantara keagungan terbesar berlawat adalah dapat melihat Nabi saw dalam mimpi, dan akan terus meningkat kualitas mimpinya seiring semakin banyaknya shalawat yang dibaca, sampai bisa melihat Nabi saw dalam keadaan terjaga.

Memimpikan Nabi?

Bertemu saat terjaga? 

Apa bisa? 

Mustahil itu, Rasulullah telah tiada...

Tidak mungkin, bla… bla… bla…

Pertanyaan-pertanyaan serupa adalah lukisan derajatmu di hadapan Nabi, engkau tidak akan tahu bentuk asli bulan dari tangkapan mata, engkau tidak akan faham rasanya menyentuh permukaan bulan, engkau tidak pernah bisa mencium aroma pijakan bulan, karena engkau tidak pernah begitu dekat dengan rembulan, tapi bukan berarti bulan dan segala sifatnya menjadi tidak ada karena ketidakmampuanmu untuk mengaksesnya. Begitu pun dengan baginda Nabi, orang-orang yang sudah berada dalam lingkaran beliau, diberikan hak akses langsung terhadap beliau, maka pejaman mata adalah kebahagiaan terindah baginya, setiap mimpi adalah karunia terbesar untuknya, dan setiap perkumpulan adalah keistimewaan tidak ternilai dunia dan segala isinya. 

Di hari agung kelahiran Rasulullah saw ini, kusampaikan kabar gembira untuk kalian wahai para pencinta dan perindu baginda Nabi:

Abu Hurairah r.a. berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Sungguh akan datang kepada salah satu di antara kalian suatu zaman, dimana mimpi bertemu aku lebih dicintainya daripada apa yang dia miliki, seperti keluarga dan hartanya" (HR. Bukhari). 

Nabi Saw bersabda, "Siapa saja yang melihatku dalam mimpi, maka ia telah melihatku secara nyata (hak)”. 

Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi r.a., diantaranya hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, “Siapa saja yang melihatku dalam mimpi, maka ia telah melihatku secara nyata, karena sesungguhnya syaithan tidak dapat menyerupaiku.”

Dalam hadis lain riwayat Abu Hurairah r.a, “Siapa saja yang melihatku dalam mimpi, maka ia telah melihatku secara nyata, karena sesungguhnya syaithan tidak dapat menyerupaiku”.

Diriwayatkan oleh Thariq bin Asyim r.a., Rasulullah Saw bersabda, “Siapa saja yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga, dan Syaithan tidak dapat menyerupai."

Anas r.a. Berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "tidak sempurna iman kalian sampai aku lebih dia cintai daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anaknya, dan manusia lain seluruhnya." (HR. Bukhari Muslim). 

Wahai para pecinta dan perindu baginda Nabi…

Dengan semua keberkahan shalawat yang telah kubaca seumur hidupku, dengan semua keagungan shalawat yang akan kubaca di sisa umur hidupku, aku bermohon pada Allah untuk menghidupkan waktumu (para pembaca) dengan memperbanyak shalawat kepada Nabi, membasahi lisannmu dengan nama Nabi, menerangi pikiranmu dengan cahaya Nabi, dan memeluk erat hatimu dengan kecintaan dan kerinduan kepada Nabi.

Dengan semua keberkahan shalawat yang telah kubaca seumur hidupku, dengan keagungan semua shalawat yang akan kubaca di sisa umur hidupku. Aku bermohon pada Allah agar memasukkannmu ke dalam lingkaran Rasulullah, yang karenanya pejaman matamu adalah kebahagiaan terindah bagimu, setiap mimpimu menjadi karunia terbesar untukmu, dan setiap perkumpulanmu dengan Rasulullah menjadi keistimewaan tidak ternilai angka dan bilangan. 

Salam paling indahku untukmu rasulullah, di hari terbaikku karena kelahirmu.

Shalawat terbaikku untukkmu kekasihku, di hari terindahku karena kedatanganmu.

Shalallahu ‘ala Muhammad, shalallahu ‘alaihi wa sallim.


Yogyakarta, sehari sebelum hari kelahiran Nabi

28 Oktober 2020.

Gerry Kun Geia

Read More...

70 Malaikat perlu 1000 hari untuk menulis pahala amalan ini

Imam Abu Nuaim, Imam Tabrani dalam Mu’jamul ausath dan mu’jamul kabir dan beberapa ulama ahli hadis lainnya menyebutkan riwayat dengan sanad yang muttashil kepada sahabat yang bernama Sayidina Abdullah bin Abbas Radhiyalllahu Anhuma dari Rasulullah ﷺ bersabda:” Siapa saja yang membaca selawat ini, maka 70 malaikat akan "letih" untuk mencatat pahalanya sampai 1000 hari

Barangsiapa membaca Jazallahu Anna Sayyidina Muhammadan Sollallahu Alaihi Wa Sallam Ma huwa Ahluhu,70 Malaikat "penat" tulis ganjaran untuknya selama 1000 pagi(maknanya terlampau besar ganjarannya di sisi Allah...Hadith riwayat Ibnu Abbas Rodiyallahu Anhuma dan Imam Tabrani Jazallahu ‘anna sayyidana muhammadan shallallahu a’laihi wa sallama ma huwa ahluh Artinya: “Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada pemimpin kita Nabi Muhammad ﷺ atas jasa-jasa Baginda kepada kita dengan balasan yang selayaknya Baginda terima.”

Read More...

Diberikan kunci Surga dan diharamkan dari api neraka, mau?


Bacalah setiap hari setelah sholat maghrib dan setelah sholat subuh sebelum berubah posisi duduk:
Laa ilaaha ilallah wahdahu la syarikalah lahul mulku walahul hamdu yuhyi wa yumitu wahuwa ‘ala kulli syai inqodir.” Paling sedikit 10x.
(Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dia-lah yang Mahakuasa atas segala sesuatu)

Inilah dzikir yang utama, yang dengannya; Allah jaga dirimu dari Syaitan; Allah hapuskan dosa-dosamu meski sebanyak buih di lautan; Allah wafatkan dirimu dalam keadaan paling mulia; Allah haramkan tubuhmu dari api Neraka, dan Allah berikan padamu kunci Surga.

Kalimat dzikir ini ijazah dari Habih Umar bin Hafidz.
Bagi yang akan mengamalkan, silahkan ucapkan "QOBILTU (saya terima)".


Read More...

Ketaqwaan yang Aku Cari, Bukan Kata Kata Basi

Flash cerpen ini adalah kisah fiktif belaka, jika ada kesamaan tokoh, karakter, atau alur, itu semata hanya KESENGAJAAN belaka agar pembacanya sadar.

(♂): "Kau lah belahan hatiku..."
(♀): "maaf, aku bukan tukang jagal pasar yang suka belah-belah organ dalam."
(♂): "Kaulah tulang rusukku yang hilang"
(♀): "nuduh ya? maaf, aku bukanlah pencuri karena tidak pernah merasa mengambil tulang rusuk punya orang."
(♂): "Kaulah hidup dan matiku"
(♀): "Hus...!!! aku bukanlah Tuhan yang memiliki kekuasaan menghidupkan dan mematikan."
(♂): "Kaulah separuh napasku"
(♀): "Enak aja... aku bukan tabung oksigen."
(♂): "Kaulah bidadariku"
(♀): "Whew... emang pernah liat bidadari? maaf aku ini manusia, bukan mahluk gaib."
(♂): "Kau lah..."
(♀): "sudah cukup... tak usah banyak kata, jika agamamu baik, kenapa pula kau datangi aku dengan kalimat-kalimat itu, bukannya kau datangi orang tuaku, maaf... kata-katamu takkan mempu membuka gerbang hatiku, ketakwaan yang aku cari bukan kata-kata basi..."
(♂): hiks... hiks... T_T


by: Kun Geia

NB: catatan lamaku yang dipindahkan dari dari blog terdahulu yang sudah terhapus: maribershalawat.multiply.com

Read More...

Kata Maestro Sastra Indonesia; Ini BENCANA Besar!


Izinkan aku untuk berbagi, karena saat itu tidak semua orang bisa hadir bersama kami, termasuk Anda juga.

Ini bukan mengenai sesuatu yang tabu atau apapun yang akan dianggap tidak perlu, ini tentang pertemuan kami dengan pejuang pena yang telah mengharumkan nama bangsa ke seantro dunia. Ini mengenai curahan hati seorang maestro sastra Indonesia, tentang kasih sayang seorang kakek untuk cucu-cucu zaman, tentang guru terbaik yang dibagikan kepada kami melalui penggalan-penggalan PENGALAMANnya.

Tiga hari sebelum tulisan ini dibidani dari rahim inspirasi, terdengar kabar sang maestro akan mengisi sebuah acara di salah satu universitas negeri yang ada di Yogyakarta. Saudara-saudara dari Forum Lingkar Pena Yogyakarta langsung menghubungi panitia, melobi mereka untuk meminta sedikit waktu agar bisa bersua dengan sang bintang tamu.

Hari pertama kedatangan beliau ke kota budaya ini, kami gagal bertemu. Setali tiga uang di hari kedua. Dan… esoknya, pagi-pagi di hari dimana beliau akan meninggalkan Yogyakarta, kami berkenan untuk dipertemukan dengan beliau.

Perbincangan itu dimulai.

“Malas membaca!” di awal ucapan, beliau langsung menghentak alam sadar kami dengan nada tinggi, tidak menyerupai bentakan, namun lebih seperti memperingatkan. “Itu penyakit Bangsa yang belum juga dapat diatasi sampai hari ini. Kurikulum sekolah, kebijakan pemerintah, fasilitas penunjang, bahkan sampai lingkungan sekitar pun ikut-ikutan menjadi penyebab utama tidak majunya kecintaan masyarakat kita pada dunia membaca.”

Beliau menurunkan tekanan suara, dari wajah yang tadi kentara memperlihatkan keprihatinan, sedikit-demi sedikit luntur tersapu senyum khasnya. Dan… satu cambukan kembali mendarat di alam sadar kami, “Membaca saja begitu, jangan tanyakan untuk semangat menulis.”

Kami semua mengangguk, dan memang tidak ada keraguan untuk mengamini arti kebenaran dari ucapan beliau.

“Anda semua pasti sudah sangat paham bahwa modal pertama untuk mengarang adalah dimulai dari membaca.” Kembali senyum khas menghiasi untaian kalimat yang dirangkainya. Sejujurnya, aku sudah menyadari bahwa diri ini… terhipnotis kharismanya.

“Yang dibaca adalah apa saja yang dilihat, baca semua itu dengan benar. Yang dibaca adalah pengalaman hidup yang sudah dituliskan orang. Yang dibaca adalah kabar dari zaman untuk generasi Anda dan setelah Anda.”

Baik, sebelum dilanjutkan, aku ingin mengingatkan kembali bahwa tulisan ini tentang proses, ini tentang transfer pengalaman, ini tentang upaya menyambung generasi, ini tentang pertautan hati untuk keberlagsungan perjuangan di beda zaman. Ini untuk kami, Anda, dan Indonesia, bahkan dunia. Pahami ini ketimbang menyesal kemudian karena tidak dapat isi yang sesuai tatkala menyelesaikan bacaan. Pilihannya dua, lanjutkan membaca atau tinggalkan sama sekali mulai dari paragraf ini.

“Modal kedua adalah latihan menulis, terus dan terus. Dan, pelajaran menulis yang paling vital harusnya terjadi di sekolah.” Beliau menghela napas panjang. “Lantas apa yang terjadi sekarang? Sebelum ke sana, saya akan bercerita dulu tentang masa lalu.”

Beliau memperbaiki posisi duduk, bisa jadi ingin mempersiapkan diri untuk suatu kabar besar yang akan dihantarkan ke gendang-gendang telinga kami.

“Pemerintah kolonial menyediakan sekolah-sekolah untuk anak jajahan. Bayangkan, ini dilakukan oleh penjajah untuk orang-orang yang sedang dirampoknya.” Gir dan pengungkit di dalam otakku langsung begerak, mencoba mencerna kekuatan kata, menyediakan sekolah untuk anak jajahan, sekali lagi mekanisme mesin dalam otakku berputar untuk empat kata, sekolah untuk anak jajahan. Diksi yang istimewa.

“Di sekolah-sekolah itu, kewajiban membaca buku dalam waktu tiga tahun adalah dua puluh lima judul buku. Sembilan buku di tahun pertama, delapan di tahun kedua, dan delapan di tahun ketiga. Anda semua tau kesemuanya ditulis dalam berapa bahasa? Kedua puluh lima judul buku itu tertulis dalam tiga bahasa, Belanda, Inggris, dan Prancis atau Jerman. Tidak ada karya sastra berbahasa Indonesia yang diajarkan saat itu.”

Aku menerka bahwa beliau akan menanyakan, berapa buku wajib baca yang diterapkan sekolah-seolah kami dulu sewaktu SMA? Terkaanku benar, dan keprihatinanku berwujud nyata, bahwa dari kami semua yang berbicara, jawabannya sama, NOL.

“Di sekolah-sekolah kolonial itu, para murid wajib menulis satu tulisan setiap minggu, sekitar dua halaman. Mereka akan menulis di rumah, besoknya disetorkan pada guru, dinilai dan dikomentari, kemudian dikembalikan pada murid.” Ekspresi beliau mulai terbaca akan kembali menggebu. “Kita hitung, dalam satu semester akan terlahir delapan belas tulisan. Dalam setahun tiga puluh enam tulisan. Dalam tiga tahun, sudah terkumpul seratus delapan belas tulisan.”

Benar dugaanku, ekspresi beliau menggebu, tekanan nada suaranya lebih kentara. Aku dipaksa untuk tidak berkedip, bahkan sekedar menarik napas pun dirasa sayang karena konsentrasi akan terbagi untuk beberapa kegiatan yang dilakukan bersamaan. Sayang jika detik-detik mahal ini terlewati tanpa arti. Saudara-saudaraku yang hadir? Aku kira apa yang kurasakan mereka pun turun terlibat di batin masing-masing.

Dan, kulihat beliau menarik napas dalam, lengkingan menyusul kemudian, “Apa yang terjadi sekarang? NOL! NOL!”

Bulu kuduk berdiri, serempak memberi hormat. Suara selanjutnya yang keluar memang tidak lagi melengking, tapi tekanan nada kata-katanya, menggetarkan isi dada ini, “Dari sistem itulah lahir generasi emas! Seokarno! Hatta! Agus Salim! Mohammad Natsir! Dan masih banyak lagi mansia-manusia brilian yang hadir di tanah bangsa dari sebuah kecintaan terhadap buku dan tulisan.”

Ketika menatap beliau berbicara, ketika telinga mendengar kata-demi kata keluar dari ucapannya, hati berkata, apakah beliau sedang berbicara biasa, atau sedang membaca puisi?

Alangkah indahnya lantunan yang kami dengarkan. Betapa padatnya makna yang kami dapatkan di setiap ucapan, dan ekspresi khas beliau tidak tersembunyikan untuk kami petik makna demi makna yang disampaikannya.

“Para pembesar bangsa ini, semua menulis buku. Semua memulai dari kecintaan pada membaca. Sekarang?” Baru  sekali ini beliau menyuguhi kami senyuman kecil, tapi cita rasanya… sinis. “Para pemimpin bangsa kita juga melahirkan buku, tapi dia cukup ngomong pada wartawan, dan wartawan yang menjadikannya sebagai tulisan kemudian terlahir menjadi buku.”

Aku pun ingin menarik beberapa senti bibir kananku saja, untuk berpartisipasi men-sinis-kan kelakukan mereka, tapi kharismatik beliau, mencegahku untuk melakukannya.

“Dahulu, kewajiban dua puluh lima buku yang dibaca itu dicantumkan dalam kurikulum. Terus, ketika guru  mengatakan baca buku ini! Baca buku itu! Maka para murid tinggal pergi ke perpustakaan sekolah, bukunya sudah tersedia di sana, satu orang dapat satu buku. Kemudian anak itu harus membacanya, lalu ditulis rangkumannya atau resensinya, kemudian dinilai oleh guru.”

Kuterka beliau akan kembali menggebu-gebu.

“Sekarang, kewajiban membaca buku? Nol! Kewajiban menelaah buku? Nol! Fasilitas penunjang itu semua? Nol! Anda adalah generasi nol! Saya adalah generasi nol! Bencananya adalah, kemunduran ini sudah berlangsung selama enam puluh delapan tahun!”

Benar, ekspresinya menampakkan diri, keluar bersama keprihatinan seorang kakek untuk generasi cucu-cucunya. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena tempat kami berbincang adalah sebuah lobi hotel, yang di sana tidak hanya kami saja yang berada, dan beliau menyadari itu.

“Dalam penelitian saya, rata-rata hanya sekali dalam setahun anak didik disuruh membuat tulisan, dan judulnya hampir sama semua; CITA-CITAKU, yang kedua; BERLIBUR DI RUMAH NENEK.” Kami semua tertawa, menertawakan bahwa kami merasa pernah mengalami membuat cerita dari kedua tema yang beliau sebutkan itu. “Yang kita alami selama enam puluh delapan tahun ini adalah bencana besar. Tahukah, kegemilangan generasi enam puluh delapan tahun yang lalu dengan kewajiban membaca dua puluh lima buku dan menulis seratus delapan belas tulisan, sama kemajuannya dengan Eropa dan Amerika saat ini.”

Beliau memperbaiki kembali posisi duduknya, dan mungkin ini saatnya beliau melunak dari ekspresi yang selama hampir satu jam ini beliau keluarkan.

“Tahun empat puluh sembilan, ketika Indonesia benar-benar merdeka, berkumpulah para pengajar untuk merumuskan ke mana pendidikan bangsa akan dibawa. Akhirnya diputuskan, karena kita sudah tertinggal akibat jajahan selama ratusan tahun, maka yang harus dibangun adalah jalan-jalan yang menghubungkan berbagai kota, membangun banyak rumah sakit, perkebunan, sehingga sekolah-sekolah nantinya akan dibentuk untuk menghasilkan sarjana-sarjana teknik, kedokteran, ekonomi. Sementara untuk program membaca dua puluh lima buku dalam dalam tiga tahun, dikatakan; ‘Ini akan menghabiskan banyak waktu!’ program ini, DICORET!”

Ternyata terkaanku kali ini salah, beliau membetulkan posisi duduk bukan untuk melunak. Tekanan suara beliau mendadak tinggi.

“Program menulis seratus delapan belas tulisan dalam tiga tahun, dikatakan; ‘Ini akan menghabiskan banyak waktu!’ program ini, DICORET!”

Tekanan suaranya semakin meninggi.

“Yang diagung-agungkan adalah ilmu alam, ilmu pasti, kedokteran, sementara bahasa dan sasrta… DICORET! Guru-guru yang dibentuk adalah untuk menjuruskan anak-anak didiknya pada teknik, kesehatan, ekonomi. Sedangkan guru-guru bahasa diarahkan hanya pada estetika tulisan saja! Dari SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi, yang dipelajari adalah awalan, akhiran, imbuhan… awalan, akhiran, imbuhan. Itu itu saja! Jadi tidak heran jika kecintaan membaca dan menulis buku sungguh sangat memprihatinkan.”

Beliau membuang napas panjang. Keheningan menggelayut beberapa saat.

“Kami sudah berhenti protes pada pemerintah, puluhan tahun protes, puluhan tahun menggugat, hasilnya nihil! Selama tujuh belas tahun belakangan, kami sudah berhenti protes dan membangkang pada pemerintah. Kami sudah capek, usaha puluhan tahun kami tidak pernah di dengar. Akhirnya kami melakukannya sendiri untuk memajukan minat baca, tulis, dan kecintaan pada sastra. Kami telah memberikan pelatihan pada dua ribu guru SMA dari seluruh Indonesia. Jadi, sasaran yang harus pertama dibenahi adalah para pengajar, karena selama ini guru-guru tidak dilatih untuk cinta membaca dan menulis, apalagi sastra. Jumlah SKS baca, tulis, dan sastra saja di kuliah mereka hanya dua puluh persen.”

Tensi pembicaraan sudah menurun, sudah lebih santai.

“Selain pelatihan untuk para pengajar, kami mengadakan sebuah program yang bernama, Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB). Jumlah sekolah di Negara kita lebih dari dua puluh ribu, dan kami baru mampu mendatangi tiga ratus  sekolah. Selama ini para seniman datang ke sekolah-sekolah, ada yang membacakan puisi, cerpen, naskah drama, dan berbagai bidang sastra lainnya. Para siswa benar-benar antusias, mereka bisa bertemu dan belajar langsung dari Rendra, Ahmad Tohari, Nano Riantiarno, Sutarji C. Bachri, dan yang lainnya. Anak-anak diminta menyimak dan menuliskan apa yang didapatnya.”

Terkesima, inilah langkah yang lebih nyata ketimbang banyak berdebat mengenai angka anggaran pendidikan Negara yang realitanya jauh dari nyata. Terkesima, merekalah teladan sastra sesungguhnya.

“Kami juga membentuk sanggar sastra di beberapa sekolah, kegiatannya setiap sabtu dan minggu jadi tidak mengganggu sekolah, tujuannya supaya murid berminat membaca dan menulis. Di sanggar itu, wajib ada minimalnya seratus judul buku, satu komputer, satu printer, dan satu scanner. Sanggar sastra ini haruslah diasuh oleh guru-guru yang telah lulus mengikuti pelatihan yang dua ribu guru tadi. Dan tujuh belas tahun ini, kami baru mampu membentuk sanggar sastra di tiga puluh sekolah dari dua puluh ribu sekolah yang ada.”

Kembali aku terkesima, saudara-saudaraku yang lain pun kupikir tidak jauh beda. Dapat kubaca dari air muka mereka.

Beliau melihat jam di tangan kirinya, aku merasakan waktu telah mendekat untuk merenggut beberapa menit emas di depan, sepertinya kebersamaan kami akan segera diceraikan keadaan.

“Masalah kita adalah memajukan sastra di Indonesia. Dan sumber utamanya adalah minat membaca dan menulis yang telah tertinggal selama enam puluh delapan tahun. Kami sudah berhenti protes pada pemerintah. Selama tujuh belas tahun ini kami bergerak sendiri untuk pekerjaan nyata. Dan saya gembira betul dengan lahirnya FLP, ini hebat. Masya Allah, Anggotanya ribuan, hingga ke mancanegara. Saya senang dan bangga dengan Anda, dahulu bersama kawan-kawan, kami tidak mampu untuk membentuk sebuah organisasi besar yang bergerak di dunia literasi. Tapi Anda bisa. Dan FLP telah menjadi salah satu elemen roda penggerak kemajuan baca tulis bangsa, demi bangsa yang maju dan berkarakter. Kita berdoa dengan betul-betul khusyuk, semoga Allah akan senantiasa memberi jalan perjuangan ini.”

Beliau kembali tersenyum, dan matanya menyapa mata-mata kami dengan keteduhan pandangan seorang kakek untuk cucu-cucunya.

“Anda masih muda-mudi, cita-cita jadi pengarang itu dalam hidup jadikanlah nomor tiga. Yang pertama lulus kuliah dulu, senangkan hati orang tua, ridha Allah ada pada mereka. Yang kedua, bolehlah lirik kiri kanan, yang jelas doanya harus lurus, yaitu mendapatkan jodoh terbaik. Baru yang ketiga adalah menjadi pengarang atau sastrawan.”

Beliau menghela napas pendek.

“Untuk membentuk karakter penulis, yang terpenting adalah ridha Allah, kemudian jalan yang menuju ke sana pastilah harus jalan yang lurus, nanti dalam perjalannya akan datang jalan-jalan lain untuk semua yang kita butuhkan sampai menjadi seorang penulis. Dan yang tidak kalah penting, Anda harus punya perpustakaan sendiri, karena dari sanalah kecintaan terhadap buku bisa senantiasa bersatu bersama Anda.”

Aku merasakan waktu perpisahan sudah semakin mendekat.

“Tidak akan ada penulis yang hebat tanpa dia membaca banyak buku. Jadi syarat utama menjadi penulis tentu saja dia harus terlebih dahulu menjadi pembaca.”

Inikah ucapan pamungkas beliau? Hatiku tidak enak, sepertinya tebakanku akan kembali berwujud nyata. Dan, Kun! Fayakun… beliau memohon banyak maaf, karena bukan tidak ingin lebih lama bersama, namun masih banyak hak orang lain yang perlu beliau tunaikan di tanah istimewa ini sebelum kembali ke ibu kota.

Dan, di sepanjang menit dari pukul sembilan kurang lima belas sampai pukul sepuluh lebih tiga puluh, beliau telah banyak berbagi, khususnya tentang kegundahan hati mengenai minat baca, minat tulis, minat sastra, yang berefek pada melemahnya karakter bangsa yang justru tidak diberhasil dibangun oleh kurikulum-kurikulum pemerintah di sekolah-sekolah dengan selogan ‘pendidikan berkarakter’.

Di menit-menit akhir pertemuan kami, ada kenang-kenangan dari (mungkin satu-satunya) komikus FLP jogja untuk beliau, pun dari saya dengan memberikan sebuah buku bersampul biru. Dan, putaran waktu emas bersama beliau menjadi lebih sempurna tatkala terucap dari lisannya, “Tolong saya minta bukunya dibubuhi tanda tangan, nama penulis, dan nomor telpon.”

SELESAI.


Kawan, kita menulis bukan untuk dikenal, bukan untuk dikenang, pun bukan untuk yang lain. Menulis adalah peperangan, syahid menanti di ujung goresan terakhir pena kita. Karena, kita menulis untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan para pendahulu, bersama bercita-cita memperbaiki negeri melalui tinta-tinta emas anak bangsa.

Ini tidak menyerupai bahasa ratapan hati, tetapi ajakan untuk bergerak dan beraksi, bukan berteori apalagi beradu argumentasi.

Mari, angkat pena… perbaiki negeri.


Yogyakarta 30 April 2013.


Catatan: Anda tentu sudah tahu, siapa ‘beliau’ yang saya maksud dalam tulisan ini. Jika belum bisa menebaknya, mungkin bait yang dinyayikan oleh almarhum Chriyse berikut, yang menemani sepanjang diri ini menulis dan membidani tulisan ini, akan membuat ada mengerti, siapa beliau sang maestro itu. Beliaulah yang melahirkan bait-bait ini;

Akan datang hari, mulut dikunci, kata tak ada lagi
Akan tiba masa, tak ada suara, dari mulut kita

Berkata tangan kita, tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita, kemana saja ia melangkahnya

Tidak tahu kita, bila harinya tanggung jawab tiba
Mohon karunia, kepada kami hamba-Mu yang hina

Rabbana, tangan kami, kaki kami, mulut kami
Luruskanlah, kukuhkanlah, di jalan cahaya sempurna



Read More...

Wahai Kekasihku

dalam 3 jam kedepan engkau kan melangkah
pergi menjauhiku yang masih disini
menyuguhkan kesepian
menyisakan kesendirian

maka berkabunglah hati karenanya
datanglah kesedihan bersama perpisahan
duhai kekasih yang belum bisa sempurna kubahagiakan
duhai cinta yang hanya sekejapan dalam kebersamaan

akankah kita dipertemukan kembali
bersatu dalam keceriaan dan keberkahan
mengulang ketaatan dalam indahnya malam-malam
mengukir kesabaran dalam untai terangnya siang

kehangatan kita masih terasa dalam dekapan
keintiman kita masih terbayang dalam ingatan
namun engkau sudah sempurna berkemas 
siap melangkah tuk pergi dari sisiku

sesaklah dada ini
beratlah beban ini
tapi engkau tak bisa dihentikan
keputusan tak bisa dibantahkan

sungguh aku akan merindukanmu
selalu menunggumu kembali kesisiku
wahai kekasih
wahai tercinta

andaikata Tuhan bersedia mengabulkan
kan kuminta Dia menjadikan seluruh bulan
digantikan oleh dirimu
wahai penghulu seluruh bulan

selamat jalan untukmu penyandang kesucian
selamat jalan bagimu pembawa keagungan
selamat jalan padamu penebar keberkahan
selamat jalan ya ramadhan

terima kasih untuk semua keceriaan
terima kasih untuk semua kehangatan
terima kasih untuk semua kebersamaan
terima kasih untuk semua yang telah kita jalani bersama

wahai kekasihku wahai ramadhanku
janganlah jemu menyebut-nyebut namaku di langit sana
ceritakanlah apa-apa yang telah kita kerjakan bersama
kepada seluruh penduduk alam atas dan alam bawah
serta kepada Raja Yang Bersemayam di Arsy-Nya

kuucapkan salam perpisahan untukmu
dengan alunan tertulus yang bisa kuciptakan
"Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar..."
"laa ilaa ha illallahu wa Allahu Akbar..."
"Allahu Akbar wa lillahilham..."


Garut, menjelang kepergian Ramadhan dan kedatangan 1 Syawal

Read More...

Proses Kreatif Pembuatan THE LOST JAVA

Saat itu, tanpa angin atau hujan, terlebih terik, ada comment di blog pribadiku; komunitaspenaripena.blogspot.com, isinya berupa iklan lomba novel tingkat Nasional di Yogyakarta, kejadiannya di bulan Januari 2010. Aku tak begitu menghiraukannya, hanya membaca sekilas, tapi ternyata setelah melihat nominal hadiah dari lomba itu, bibirku tersenyum. Batinku mulai berbisik, aku harus juara.

Dead line penutupan lomba tinggal 1 bulan. “Bukan masalah,” cuapku dengan arogan.

Kubeli kertas karton putih, kemudian kutorehkan tulisan besar dan tebal di karton itu: MENGHAJIKAN ORANG TUA. Setelahnya, kutempel karton itu di dinding kamar yang tepat menghadap tempat tidur, sehingga setiap kali terbangun, aku akan menemui tulisan itu sebagai charger semangat.

Maka, mulailah scouting ide.
Nggak ketemu.
Membaca-baca buku berharap dapat inpirasi.
Nihil.

Kau tak boleh menjadi follower, ciptakan tulisanmu sendiri yang berbeda dengan novelis-novelis yang sudah ada di Indonesia. Begitu ucap batin di sela kekosongan ide.

Suatu ketika, tatkala mengikuti perkuliahan kimia lingkungan di Pascasarjana Kimia UGM, Prof. Eko Sugiharto membahas tentang global warming.
Deal.
Ideku untuk novel yang akan ditulis adalah: GLOBAL WARMING.

Indah nian sketsa alur yang disiapkan Tuhan.

Kusebar SMS ke rekan-rekan di KOMUNITAS PENARI PENA (KPP): Tolong carikan berbagai data mengenai pemanasan global.
Sent to 7 people.

Aku pun mulai membuka laptop dan menulis “ala orang kesetanan”. Maksudnya begini, metodeku menulis adalah dengan menutupkan separuh layar laptop setelah kujalankan microsoft word yang siap ketik, dengan begitu aku tak bisa melihat apa yang kuketik. Sehingga, para hakim, juri, editor, dan komentator di dalam kepalaku, tak bisa menghambat kreativitas aliran tulisanku.

Selanjutnya, kupakai keyboard eksternal untuk mengetik. Gerakan jari-jemari pada ketikanku dibuat secepat mungkin, tanpa ada jeda untuk beristirahat sampai semua yang ingin dituliskan—yang mengendap di dalam isi tempurung kepala—benar-benar kering. Habis. Satu jam, dapat satu bab.

Istirahat.
Mengetik lagi.
Hingga akhirnya, dengan metode itu, kuhabiskan seminggu dan menghasilkan 7 bab.
Pernah suatu hari, selama 24 jam full, tanpa rehat kecuali untuk makan, shalat, dan kebutuhan primer, kerjaanku hanya menulis di dalam kamar. Autis. Tanpa tidur pula. Alhasil dalam 24 jam itu lahirlah hingga 5 bab bagian dari novel THE LOST JAVA.

Setiap kali semangatku mulai menurun, maka segera kulihat tulisan MENGHAJIKAN ORANG TUA di dinding kamar, seketika itu juga aku terlahir kembali dengan semangat menggebu.

Sebelum 3 minggu habis, telah rampung 20 bab.

Selanjutnya, sudah menanti sebuah pekerjaan yang akan lebih menguras otak. Pesanan data-data yang diminta pada KPP sudah berdesakkan di email.
Dibuka.
Dibaca.
Ditelaah satu persatu.
Kemudian, data-data yang kuanggap penting dan akan berpotensi memperseksi novel ini, mulai kucoba untuk diharmonisasikan dengan naskah yang sudah ada menjadi satu kesatuan tubuh cerita yang utuh.

Di minggu ketiga, selesailah pekerjaan menulis naskah novel.

Setelahnya, tibalah waktuku tidur. Adrenalin habis karena dipakai untuk kerja paksa dalam 3 minggu demi 3 kata: MENGHAJIKAN ORANG TUA. Dua hari terlewati tanpa kegiatan kepenulisan.

Kun Geia benar-benar TEPAR.

Kemudian, pekerjaan editing/revisi mulai dilaksanakan. Dalam 5 hari. Naskah sebanyak 200 halaman A4 itu selesai direvisi dari halaman pertama hingga titik terakhir sebanyak 5 kali.

CUKUP! Ucapku waktu itu.

Kukirimkan novelnya pada panitia lomba yang saat itu hanya menyisakan satu hari waktu sebelum penutupan. Naskah THE LOST JAVA dilombakan bersama 2 naskah novelku yang sebelumnya sudah jadi duluan, sekitar 1 tahun lalu: HITAM PUTIH PENANTIAN dan RARA PENGIKHLAS.

Waktu bergulir, penjurian berlangsung.
Dari sekian ratus naskah yang masuk panitia lomba, THE LOST JAVA  dan PARA PENGIKHLAS ternyata lolos seleksi hingga 30 besar.

Waktu berlalu, penjurian kembali berlangsung.
Akhirnya, meski tak juara di akhir lomba, tanggal 30 november 2010, THE LOST JAVA menduduki peringkat ke-4. Sayang, hadiah cuma sampai di peringkat ke-3. Dan peringkat ke-4 hanya dapat piagam dan JANJI akan diterbitkan.

Sementara, selesai sampai di situ.

Enam bulan berlalu dari janji penerbitan tanpa ada hasil konkrit. Naskah itu kucabut dari penerbit yang sudah mengiyakan untuk diterbitan.

Novel itu kuikutkan lagi lomba menulis tingkat Nasional di Solo Raya. Tak juara sih, tapi dapat menghargaan sebagai novel dengan ide terbaik dari sekian ratus naskah yang masuk ke panitia lomba. Itu terjadi 24 januari 2011.

Ada lagi lomba tingkat Nasional di Yogyakarta.
Kuikutkan lagi.
Di sini, THE LOST JAVA yang sudah berkali-kali mengalami revisi, ternyata menjadi juaranya.

Alhamdulillah. Diterbitkan.

Bulan bergulir. Aku baru tahu kalau buku itu ternyata diterbitkan indie dan dijual hanya on line saja.
Mengelus dada dan menghela napas panjang....

Kubiarkan THE LOST JAVA mengandap di penerbit itu. Hingga setahun, ya... hasilnya gitu-gitu aja. Tidak banyak orang yang menikmati isinya, tidak banyak orang yang membelinya, atau lebih tepatnya mungkin tidak banyak orang yang tahu bahwa buku itu ada di muka bumi. Tapi, beberapa progres cukup lumayan. Buku ini masuk ke dalam catalogue national library of Australia, display di Amazon.com dan beberapa international online reseller serta nangkring di google book. Beberapa ada yang mengulas di media nasional secara on line. Harian lokal dari Sumatera pun meresensi, hingga tak ketinggalan dikomentari pada blog-blog pribadi.

Dalam kurun 2010 hingga 2012, dengan serius kusempurnakan THE LOST JAVA. Riset yang dilakukan mengenai hal prihal ilmiah yang ditanamkan dalam novel itu menjadi prioritas. Beberapa orang yang (kuanggap) ahli di bidang keilmuan geofisika, komputer, dan statistik, berhasil kugandeng. Bahkan hingga dosen skripsi S1 dulu, turut  dimintai bantuan menganai hal ikhwal berbau kimia melalui wawancara.

Dalam kurun waktu itu, kuhitung telah mengkhatamkan novel THE LOST JAVA dalam proses revisi hingga 20 kali. Halamannya pun bertambah dari yang tadinya 200 A4 menjadi 300 A4. Sebanyak kurang lebih 20 penikmat sastra kuberikan naskah itu untuk dikomentari. Termasuk penulis Hafalan Shalat Delisa (meski beliau membacanya, tapi ternyata  belum berkenan memberi endorsement karena alasan genre tulisan kita yang berbeda). Alhasil, berdatanganlah saran-saran untuk penguatan di detail setting, karakter tokoh, dan penyempurnaan logika cerita.

Untuk alur dan konflik sudah ok.

Hingga akhirnya aku dipertemukan (dengan orang-orang hebat) dengan IG Press. Mereka menjanjikan untuk membumingkan buku THE LOST JAVA. Setelah mempelajari strategi marketing mereka, hak penerbitan buku ini berpindah tangan.

Indah nian sketsa alur yang disiapkan Tuhan.

Dan, jadilah THE LOST JAVA yang sekarang ada di tangan para pembaca. Tersebar hingga di seluruh toko buku di Indonesia yang terjangkau distribusi IG Press.

Seminggu setelah selesai cetak, buku ini telah terjual hingga 150 eksemplar, padahal ia belum display di toko buku, baru penjualan gerilya. Dan setelah dua hari display,  ada satu dua toko buku yang langsung kehabisan stock hingga di gudangnya. Sold out.

Acara-acara bedah buku mulai di gelar. Lombok, Solo Raya, dan menyusul Yogyakarta serta Purwokerto.
Kota-kota lain di Indonesia, tunggu giliran selanjutnya.

Great marketing dari IG Press.

Ada 5 hal yang kugaransikan pada para pembaca dari novel THE LOST JAVA: Alur cepat (menguras adrenalin dengan adegang-adegan penuh ketegangan), Konflik Bertubi-Tubi (mengaduk-aduk emosi), Detail Setting (membawa nyatanya tempat ke kepala pembaca), Sains (menawarkan banyak ilmu pengetahuan), dan tentu saja Romantika Cinta (melengkapi harmonisasi cerita).

THE LOST JAVA dipersiapkan dengan sangat matang, sebagai persembahan dan seorang anak negeri bagi para pemburu novel science fiction dan thriller.


Minggu, 8 Juli 2012
Kun Geia

Read More...

Lomba Renensi THE LOST JAVA


Hai, kawan-kawan pecinta novel, apa kabar? Semoga kabar baik semuanya. Oiya, sudah baca belum novel The Lost Java karya Kun Geia? Ayo segera miliki novelnya dan tulis resensinya, karena kami Penerbit IG Press akan mengadakan lomba resensi dengan total hadiah sebesar Rp 3.000.000.

Syarat dan Ketentuan:
  1. Lomba ini terbuka bagi setiap WNI dan peserta tidak dipungut biaya alias gratis.
  2. Panjang resensi 5.000-15.000 karakter (termasuk spasi) atau 4-8 halaman.
  3. Ukuran kertas A4, jenis huruf yang dipakai Times New Roman 12 pt, 1,5 spasi.
  4. Resensi harus asli karya sendiri.
  5. Resensi dikirim ke:  improvegrowth@gmail.com.
  6. Karya resensi boleh di-posting di website pribadi, blog, jejaring sosial facebook, dan sejenisnya.
  7. Lomba ini dibuka mulai tanggal 20 Juli sampai 15 September 2012.
  8. Resensi diterima paling lambat tanggal  15 September 2012.
  9. Keputusan juri bersifat mutlak.
  10. Pemenang akan diumumkan tanggal 1 Oktober 2012 di website: www.ig-press.com, fb: ig press, dan twitter: @ig press.
  11. Info lebih lanjut silahkan hubungi IG Press di 0274 262 8550 (Salman).

Hadiah Lomba:
Pemenang pertama   : uang tunai sebesar Rp 1.500.000 plus sertifikat.
Pemenang kedua       : uang tunai sebesar Rp 1.000.000 plus sertifikat.
Pemenang ketiga       : uang tunai sebesar Rp 500.000 plus sertifikat.

Ayo, tunggu apa lagi! Segera baca novelnya, bikin resensinya dan ikutkan dalam lomba ini! Siapa tau keberuntungan jatuh di tanganmu! Selamat menulis resensi, Kawan!

Read More...

The Lost Java - Kun Geia


“Kehancuran dunia kian dekat, namun kematian sudah mengintai jauh lebih dekat lagi!”

Bencana mengincar setiap nyawa. Iklim sempurna tak lagi bersinergi dengan bumi. Banjir-banjir mulai berubah status menjadi permanen. Ratusan pulau perlahan tenggelam ditelan luapan air laut. Puluhan juta manusia digiring paksa oleh bencana untuk mengungsi. Terlampau menyeramkan saat menunggu detik-detik mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan yang notabene sebagai penyimpan 90% cadangan air di bumi ini. Apakah dunia sudah mengetahui kengerian yang akan terjadi setelahnya?

Puncak bencana akan terjadi ketika panasnya suhu bumi menyebabkan gas metana beku terlepas dari kedalaman es dan laut, padahal ia memiliki kekuatan efek rumah kaca 25 kali lebih hebat dari karbon dioksida. inilah ancaman utama yang akan menghancurkan! Bencana Paleocene Eocene Thermal Maximum yang terjadi 55 juta tahun yang lalu akan terulang kembali. Bencana apakah itu? Itulah saat dimana seluruh permukaan bumi membeku tertutup lapisan es tebal dan setelahnya hanya akan tersisa dua kata saja dari sejarah keberadaan manusia: KEPUNAHAN MASAL.

Sekelompok ilmuwan terbaik dari seluruh dunia berkumpul untuk mencari solusi dari semua kekacauan, di dalam sebuah lab rahasia mereka meneliti nuklir, atmosfer dan es untuk menyelamatkan bumi dari cengkraman awal kehancuran. Setelah 35 tahun melakukan penelitian, Garuda Putih Laboratory akhirnya dapat menyelesaikan formula yang akan dibawa dalam misi WAR (Warriors of Antartic). Lima ilmuwan terbaik dari Indonesia, India, Iran, dan Amerika berangkat menuju atap tertinggi Kutub Selatan, puncak Gunung Vinson Massif. Tujuan mereka satu, menyelamatkan umat manusia dari kepunahan massal.

Selama ekspedisi, badai es beberapa kali mengamuk, oksigen minim pada ketinggian, dan suhu -45° C menyengat dengan dinginnya. Longsor es mengincar setiap saat, tebing-tebing tinggi sulit untuk dilewati, hingga jurang curam menganga untuk disebrangi. Namun, dari semua itu, ada hal lain yang jauh lebih mengancam keselamatan tim WAR. Di belakang mereka, sebuah organisasi bawah tanah kliber internasional yang terkenal kejam dan brutal menaiki Gunung Vinson Massif dari jalur daki yang lain. Tujuan mereka satu, merampas formula dari tim WAR dan menggunakannya untuk menguasai dunia demi satu pemerintahan, The New World Order.

Petualangan novel bergenre science-thriller fiction ini menyajikan tiga komponen yang digarap dengan serius berupa “sisi keilmuan” yang dipadukan dengan adegan-adegan “pemicu adrenalin” yang menyedot habis “rasa penasaran” pembaca di setiap akhir babnya. Dan tentu saja disempurnakan dengan “romantika cinta” yang dibingkai apik dalam konflik yang bertubi-tubi. The Lost Java lebih dari sekedar novel Sci-Fi. Ceritanya dipersiapkan dengan matang. Jadilah alur dalam buku ini penuh dengan jalinan yang syarat ketegangan, menyuguhkan kepuasan tersendiri bagi para pemburu bacaan thriller.
[Kun Geia]

Read More...