"Silahkan mengutip sebagian atau seluruh tulisan di blog ini dengan SYARAT mencantumkan penaripena.blogspot.com"

SAVE MY PALESTINE (I)

Bom kembali meledak di atas sana, ruang bawah tanah itupun kembali memuntahkan debu dan pasir dari langit-langit ruang karena getaran bom yang menghancurkan sekitarnya mengguncang dengan suara yang memekakkan gendang telinga. Disana terbatuk-batuk Seorang pemuda bercelana putih, berbaju putih, ah tidak… bajunya tidak putih, tetapi merah putih, putih adalah bahan dasar kainnya dan merah adalah aksesoris sablonnya, sablon yang dibuatkan langsung oleh tentara-tentara biadab Israel, sablon itu digambar dengan sebutir peluru panas yang ditusukkan di tangan kanan atas sang pemuda, dan jadilah baju putih itu bersablonkan lukisan abstrak berwarna merah dengan cat yang terbuat dari darah sang pemuda.

“Perang lagi, membunuh lagi, dibunuh lagi, kapankah saatnya tiba ketika semua merasa bosan dengan kata-kata itu? Kapankah semua berita hari ini, kemarin, lusa, dan esok hari tidak membicarakan tentang itu? Tentang pembantaian yang kian membabi buta, tentang korban beribu yang meregang kesakitan dan kemudian kehilangan nyawa?”

Pemuda itu mengeluarkan belati yang diselipkan dibalik sabuk yang melingkar di pinggangnya, perlahan namun pasti, ia mengiris daging tangan kanannya yang tertembus peluru sedikit demi sedikit, ia meringis kesakitan, irisan belatipun terhentikan, menarik nafas panjang sebentar kemudian diiriskannya kembali belati itu di daging tangan kanannya.

“Tuhan… dengarlah Tuhan… tolonglah kami! Hentikanlah perang ini sekarang juga! Lihatlah… lihatlah… tanah kami telah menjadi basah, kubangan-kubangan darah diatas tanah menjadi pemandangan ditengah keringnya air mata rakyat Gaza.”

Sekilas terlihatlah sebuah benda bulat kecil, lebih kecil daripada kelereng. Warnanya samar-samar kekuningan tertutup oleh balutan air berwarna merah berbau amis yang terus berontak keluar dari dalam daging yang terkoyak tak beraturan.

Mata pemuda itu berlinang air, bukan… itu bukanlah air mata ketakutan, terlebih air mata kesedihan, air itu keluar untuk menghormati sang tuan yang sedang menahan sakitnya rasa dari daging yang terkoyak tajam belati.

“Allahu Akbar!!!”

Pemuda itu merogohkan ibu jari dan telunjuknya pada luka itu, mencengkram sekuat ia bisa dan menarik perlahan butir peluru yang tertanam di tangan kanannya.

Darah terus meleleh dari gorong daging yang ditinggalkan peluru itu, keringat dingin, keringat panas, keringat kecil dan keringat besar keluar dari hampir seluruh pori-pori kulit sang pemuda. Kami semua ingin menyaksikan ketegaran tuan kami, itulah seolah-olah yang dikatakan oleh keringat-keringat itu sehingga mereka berbondong-bondong keluar dari pori.

Benderah palestina yang tersusun oleh warna merah membentuk segitiga di pangkal, warna hitam membentuk persegi panjang diatas, warna hijau membetuk persegi panjang di bawah, serta warna putih yang juga membentuk persegi panjang di tengah, dilepaskan pemuda itu dari posisinya yang mengikat kepala, dengan tangan kiri dan bantuan cengkram gigi, bendera itu dibalutkan pada luka tangan kanan yang dioperasi sendiri untuk mengangkat peluru yang menembus daging tangannya.

Nafasnya tersenggal menahan sakit, tak ada dokter, tak ada perawat, tak ada meja operasi, bahkan tak ada obat bius sama sekali, yang ada hanyalah gelap, pengap dan runtuhan debu dari atap.

“Tuhan…tak miriskah Engkau mendengar saudara-saudaraku di pengungsian bertanya pada sesama mereka yang juga sama-sama ingin mengajukan pertanyaan yang sama”

“Dimanakah jasad anakku yang mati?”
“Dimanakah jasad isteriku yang mati?”
“Dimanakah jasad ibuku yang mati?”
“Dimanakah jasad adikku yang mati?”
“Dimanakah jasad temanku yang mati?”
“Dimanakah jasad keadilanku yang mati?”
“Dimakanah jasad kemerdekaanku yang mati?”

“Bisakah Engkau dengar beribu rintih pertanyaan serupa yang menggema dari stiap penjuru Palestina? Ah… Aku yakin Engkau yang paling pertama mendengar karena Engkau memang Yang Maha Mendengar.”

Bersambung…

0 comments:

Posting Komentar