"Silahkan mengutip sebagian atau seluruh tulisan di blog ini dengan SYARAT mencantumkan penaripena.blogspot.com"

Lastri

"Mas, Lastri pamit mas...." terakhir kali istriku bilang begitu disela tidurku, paginya ia sudah jauh entah kemana.

Tidak. Aku tak menyesal. Ini lebih baik buatnya. Lebih baik istriku minggat. Biar ia melacur, biar ia pulang ke rumah orang tuanya, atau bahkan ia menjemput kematian di rel kereta api. Itu sudah jadi keputusannya. Aku takkan menjemputnya, kalau ia ingin pulang, pasti dia pulang dan aku harap itu tak terjadi. Kami sudah hidup bersama lebih dari dua puluh tahun, tanpa anak. Kami sudah tahu bagaimana karakter masing-masing.
Hidup bersamaku mungkin jadi pilihan berat buat Lastri. Ah...istriku yang satu itu sudah terlalu banyak berbuat baik buatku dan dia penurut sekali. Umur kami beda tiga belas tahun, tapi dia tetap memanggil suaminya ini dengan panggilan 'mas', padahal aku lebih cocok jadi pamannya. Terus terang, aku yang melarikan dia dari rumahnya. Bukan, lebih tepatnya memaksa ia tinggal jauh dari orang tuanya, karena aku tak tahan dengan perilaku ibunya yang suka menghinaku, mentang-mentang aku jadi pekerja pabrik bergaji kecil waktu itu.
Setelah pergi dari rumah orang tua Lastri. Kami membangun kehidupan baru, sepuluh tahun kami bahagia meski tanpa anak, aku mandul kawan dan dari awal Lastri sudah tahu itu. Di tahun kesebelas, musibah menimpaku, kecelakaan kerja membuat kedua kakiku terpaksa diamputasi. Sungguh, waktu itu aku menangis keras sekali di pelukan Lastri. Bukan karena aku menyesal tak bisa berjalan lagi, tapi karena aku belum bisa membahagiakan Lastri. Aku kalut, waktu itu dalam pikiranku cuma ada kalut dan menyesal, bagaimana aku bisa begitu ceroboh hingga bisa celaka. Bagaimana aku mencari nafkah nanti, Lastri belum sempat punya banyak baju baru, aku belum belikan dia perhiasan-perhiasan yang ia sukai, aku belum belikan makanan-makanan yang belum sempat ia cicipi. Akh!!!

Sore sebelum Lastri pergi, kami bertengkar. Sudah sembilan tahun ia berpuas diri bekerja serabutan demi menghidupi kami berdua dan aku muak. Aku muak dengan diriku. Malam itu aku ingin menyuruhnya pergi dan aku menyulut kemarahannya, kubuat ia marah sebisaku. Aku katakan hal-hal sadis padanya, kukatai ia sekenaku hingga aku iangin menangis saking sakitnya hatiku, tapi ia bergeming seolah ia tak mendengar apapun. selesai aku bersumpah serapah, ia menyiapkan makan malam seadanya dan membaringkanku di lincak bambu. Aku masih memasang wajah masam agar ia tahu aku seruis marah padanya. Malamnya ia pergi,entah karena kesal atau entah ia tahu bahwa aku berpura-pura.
Aku bersyukur ia benar-benar pergi, biarlah laki-laki tua ini membusuk sendirian. Aku ingin kamu bahagia, cuma itu Lastri, karena denganku, kamu cuma bisa memakan penderitaan sepanjang hidupmu.

Lamunanku terhenti, hari sudah siang, senyap sekali karena tak ada Lastri dirumah ini. Aku berguling ke lantai, menarik tubuhku ke dapur, aku haus. Sampai di ambang pintu kulihat pintu ruang tamu terbuka dan kulihat sosok Lastri yang menangis. Serta merta ia jatuhkan bawaannya lalu ia berlari memburuku dan memelukku yang masih terduduk di lantai dengan erat. Entah di sebelah mana dari hatiku tiba-tiba terasa lega, lega karena melihatnya. Aku menangis, terakhir kali aku menangis adalah saat kecelakaan itu terjadi, dan kini aku menangis lagi. Nuraniku menjerit, ternyata sedetikpun aku tak ingin ia tinggalkan, sekejappun tak ingin aku tak merasakan kehadirannya. Sudah berapa lama aku tak merasakan perasaan yang meluap-luap begini.
Kelu kugerakkan bibirku, "Lastri..." aku berdebar-debar sementara istriku terus menangis memelukku, "Maaf...".
Bola mata Lastri yang berkaca-kaca sekonyong-konyong menatapku, "Mas..." dia memanggil namaku lirih, air matanya makin deras mengalir. "Seburuk apapun kamu, kamu suamiku mas..." napasnya tersengal. "Jangan suruh aku pergi dengan cara seperti itu lagi mas...", Lasri mengencangkan pelukannya, "Lastri nggak bisa pergi mas...Lastri..." suaranya sudah tak keluar, tangisnya makin keras, badannya berguncang keras. "Tampar aku Las...", aku berbisik ditelinganya. Lastri menggeleng kencang. "Sadarkan aku Las...aku sudah berbuat bodoh...", aku membujuknya. Lastri menggeleng, "Kau bunuh aku pun, aku takkan dendam mas...". "Lastri...Lastri...Lastri...Lastri...." kupeluk ia. Kusebut namanya puluhan kali. Biar ia tahu aku menyesal, biar ia tahu betapa aku mencintainya. Aku mencintai istriku. Aku mencintai Lastri.

3 comments:

Anonim mengatakan...

NIce cerpen..
Klo bisa, ruang lingkupnya digedein lagi.
trus perbanyak pesan2 moral/ hikmah didalamnya.
Oke..
but...
aku suka karakter cerpen yang kayak gini.
^___^

De dan Ka mengatakan...

hehehe...
makasi commentna...
iy, nanti depi perbaiki lagi

Gerry Kun Geia mengatakan...

sorry,br bs comment.
satu, dua atau tiga kali lagi polesan, pasti lebih sempurna, setelah itu tinggal disadur jadi naskah drama, pentas deh! tuh kan... nulis nakah drama itu mudah! semudah mementaskannya, tapi beratnya tetap ada, yang pertama saat mulai menulis, yang kedua saat kita harus mempertanggungjawabkannnya pada audiens, tapi sejauh ini... tarian penamu semakin berkembang (paling pesat diantara anak KPP yang lain). satu lagi... dari semua cerpenmu yg dikirimkan k saya, terasa sekali penulis ingin segera menyelesaikan cerita, padahal masih banyak dramatisasi yang masih bisa di eksplorasi, inget pesan moral Teater Receh: pilih 7 titik atau satu titik?

Posting Komentar