"Silahkan mengutip sebagian atau seluruh tulisan di blog ini dengan SYARAT mencantumkan penaripena.blogspot.com"
Kata Maestro Sastra Indonesia; Ini BENCANA Besar!
undefined
undefined
Izinkan aku untuk berbagi, karena saat itu tidak semua orang bisa hadir bersama kami, termasuk Anda juga.
Ini
bukan mengenai sesuatu yang tabu atau apapun yang akan dianggap tidak perlu,
ini tentang pertemuan kami dengan pejuang pena yang telah mengharumkan nama
bangsa ke seantro dunia. Ini mengenai curahan hati seorang maestro sastra
Indonesia, tentang kasih sayang seorang kakek untuk cucu-cucu zaman, tentang
guru terbaik yang dibagikan kepada kami melalui penggalan-penggalan PENGALAMANnya.
Tiga
hari sebelum tulisan ini dibidani dari rahim inspirasi, terdengar kabar sang
maestro akan mengisi sebuah acara di salah satu universitas negeri yang ada di Yogyakarta.
Saudara-saudara dari Forum Lingkar Pena Yogyakarta langsung menghubungi panitia,
melobi mereka untuk meminta sedikit waktu agar bisa bersua dengan sang bintang
tamu.
Hari
pertama kedatangan beliau ke kota budaya ini, kami gagal bertemu. Setali tiga
uang di hari kedua. Dan… esoknya, pagi-pagi di hari dimana beliau akan
meninggalkan Yogyakarta, kami berkenan untuk dipertemukan dengan beliau.
Perbincangan
itu dimulai.
“Malas
membaca!” di awal ucapan, beliau langsung menghentak alam sadar kami dengan
nada tinggi, tidak menyerupai bentakan, namun lebih seperti memperingatkan. “Itu
penyakit Bangsa yang belum juga dapat diatasi sampai hari ini. Kurikulum
sekolah, kebijakan pemerintah, fasilitas penunjang, bahkan sampai lingkungan
sekitar pun ikut-ikutan menjadi penyebab utama tidak majunya kecintaan
masyarakat kita pada dunia membaca.”
Beliau
menurunkan tekanan suara, dari wajah yang tadi kentara memperlihatkan
keprihatinan, sedikit-demi sedikit luntur tersapu senyum khasnya. Dan… satu
cambukan kembali mendarat di alam sadar kami, “Membaca saja begitu, jangan
tanyakan untuk semangat menulis.”
Kami
semua mengangguk, dan memang tidak ada keraguan untuk mengamini arti kebenaran
dari ucapan beliau.
“Anda
semua pasti sudah sangat paham bahwa modal pertama untuk mengarang adalah dimulai
dari membaca.” Kembali senyum khas menghiasi untaian kalimat yang dirangkainya.
Sejujurnya, aku sudah menyadari bahwa diri ini… terhipnotis kharismanya.
“Yang
dibaca adalah apa saja yang dilihat, baca semua itu dengan benar. Yang dibaca
adalah pengalaman hidup yang sudah dituliskan orang. Yang dibaca adalah kabar
dari zaman untuk generasi Anda dan setelah Anda.”
Baik,
sebelum dilanjutkan, aku ingin mengingatkan kembali bahwa tulisan ini tentang
proses, ini tentang transfer pengalaman, ini tentang upaya menyambung generasi,
ini tentang pertautan hati untuk keberlagsungan perjuangan di beda zaman. Ini
untuk kami, Anda, dan Indonesia, bahkan dunia. Pahami ini ketimbang menyesal
kemudian karena tidak dapat isi yang sesuai tatkala menyelesaikan bacaan. Pilihannya
dua, lanjutkan membaca atau tinggalkan sama sekali mulai dari paragraf ini.
“Modal
kedua adalah latihan menulis, terus dan terus. Dan, pelajaran menulis yang
paling vital harusnya terjadi di sekolah.” Beliau menghela napas panjang. “Lantas
apa yang terjadi sekarang? Sebelum ke sana, saya akan bercerita dulu tentang
masa lalu.”
Beliau
memperbaiki posisi duduk, bisa jadi ingin mempersiapkan diri untuk suatu kabar
besar yang akan dihantarkan ke gendang-gendang telinga kami.
“Pemerintah
kolonial menyediakan sekolah-sekolah untuk anak jajahan. Bayangkan, ini
dilakukan oleh penjajah untuk orang-orang yang sedang dirampoknya.” Gir dan
pengungkit di dalam otakku langsung begerak, mencoba mencerna kekuatan kata, menyediakan sekolah untuk anak jajahan,
sekali lagi mekanisme mesin dalam otakku berputar untuk empat kata, sekolah untuk anak jajahan. Diksi yang
istimewa.
“Di
sekolah-sekolah itu, kewajiban membaca buku dalam waktu tiga tahun adalah dua
puluh lima judul buku. Sembilan buku di tahun pertama, delapan di tahun kedua,
dan delapan di tahun ketiga. Anda semua tau kesemuanya ditulis dalam berapa
bahasa? Kedua puluh lima judul buku itu tertulis dalam tiga bahasa, Belanda, Inggris,
dan Prancis atau Jerman. Tidak ada karya sastra berbahasa Indonesia yang diajarkan
saat itu.”
Aku
menerka bahwa beliau akan menanyakan, berapa
buku wajib baca yang diterapkan sekolah-seolah kami dulu sewaktu SMA? Terkaanku
benar, dan keprihatinanku berwujud nyata, bahwa dari kami semua yang berbicara,
jawabannya sama, NOL.
“Di
sekolah-sekolah kolonial itu, para murid wajib menulis satu tulisan setiap
minggu, sekitar dua halaman. Mereka akan menulis di rumah, besoknya disetorkan pada
guru, dinilai dan dikomentari, kemudian dikembalikan pada murid.” Ekspresi
beliau mulai terbaca akan kembali menggebu. “Kita hitung, dalam satu semester akan
terlahir delapan belas tulisan. Dalam setahun tiga puluh enam tulisan. Dalam tiga
tahun, sudah terkumpul seratus delapan belas tulisan.”
Benar
dugaanku, ekspresi beliau menggebu, tekanan nada suaranya lebih kentara. Aku dipaksa
untuk tidak berkedip, bahkan sekedar menarik napas pun dirasa sayang karena
konsentrasi akan terbagi untuk beberapa kegiatan yang dilakukan bersamaan. Sayang
jika detik-detik mahal ini terlewati tanpa arti. Saudara-saudaraku yang hadir? Aku
kira apa yang kurasakan mereka pun turun terlibat di batin masing-masing.
Dan,
kulihat beliau menarik napas dalam, lengkingan menyusul kemudian, “Apa yang
terjadi sekarang? NOL! NOL!”
Bulu
kuduk berdiri, serempak memberi hormat. Suara selanjutnya yang keluar memang
tidak lagi melengking, tapi tekanan nada kata-katanya, menggetarkan isi dada
ini, “Dari sistem itulah lahir generasi emas! Seokarno! Hatta! Agus Salim! Mohammad
Natsir! Dan masih banyak lagi mansia-manusia brilian yang hadir di tanah bangsa
dari sebuah kecintaan terhadap buku dan tulisan.”
Ketika
menatap beliau berbicara, ketika telinga mendengar kata-demi kata keluar dari
ucapannya, hati berkata, apakah beliau sedang berbicara biasa, atau sedang
membaca puisi?
Alangkah
indahnya lantunan yang kami dengarkan. Betapa padatnya makna yang kami dapatkan
di setiap ucapan, dan ekspresi khas beliau tidak tersembunyikan untuk kami petik
makna demi makna yang disampaikannya.
“Para
pembesar bangsa ini, semua menulis buku. Semua memulai dari kecintaan pada
membaca. Sekarang?” Baru sekali ini
beliau menyuguhi kami senyuman kecil, tapi cita rasanya… sinis. “Para pemimpin
bangsa kita juga melahirkan buku, tapi dia cukup ngomong pada wartawan, dan
wartawan yang menjadikannya sebagai tulisan kemudian terlahir menjadi buku.”
Aku
pun ingin menarik beberapa senti bibir kananku saja, untuk berpartisipasi men-sinis-kan
kelakukan mereka, tapi kharismatik beliau, mencegahku untuk melakukannya.
“Dahulu,
kewajiban dua puluh lima buku yang dibaca itu dicantumkan dalam kurikulum.
Terus, ketika guru mengatakan baca buku
ini! Baca buku itu! Maka para murid tinggal pergi ke perpustakaan sekolah,
bukunya sudah tersedia di sana, satu orang dapat satu buku. Kemudian anak itu
harus membacanya, lalu ditulis rangkumannya atau resensinya, kemudian dinilai
oleh guru.”
Kuterka
beliau akan kembali menggebu-gebu.
“Sekarang,
kewajiban membaca buku? Nol! Kewajiban menelaah buku? Nol! Fasilitas penunjang
itu semua? Nol! Anda adalah generasi nol! Saya adalah generasi nol! Bencananya
adalah, kemunduran ini sudah berlangsung selama enam puluh delapan tahun!”
Benar,
ekspresinya menampakkan diri, keluar bersama keprihatinan seorang kakek untuk generasi
cucu-cucunya. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena tempat kami berbincang
adalah sebuah lobi hotel, yang di sana tidak hanya kami saja yang berada, dan
beliau menyadari itu.
“Dalam
penelitian saya, rata-rata hanya sekali dalam setahun anak didik disuruh membuat
tulisan, dan judulnya hampir sama semua; CITA-CITAKU, yang kedua; BERLIBUR DI
RUMAH NENEK.” Kami semua tertawa, menertawakan bahwa kami merasa pernah
mengalami membuat cerita dari kedua tema yang beliau sebutkan itu. “Yang kita
alami selama enam puluh delapan tahun ini adalah bencana besar. Tahukah,
kegemilangan generasi enam puluh delapan tahun yang lalu dengan kewajiban
membaca dua puluh lima buku dan menulis seratus delapan belas tulisan, sama
kemajuannya dengan Eropa dan Amerika saat ini.”
Beliau
memperbaiki kembali posisi duduknya, dan mungkin ini saatnya beliau melunak
dari ekspresi yang selama hampir satu jam ini beliau keluarkan.
“Tahun
empat puluh sembilan, ketika Indonesia benar-benar merdeka, berkumpulah para
pengajar untuk merumuskan ke mana pendidikan bangsa akan dibawa. Akhirnya
diputuskan, karena kita sudah tertinggal akibat jajahan selama ratusan tahun,
maka yang harus dibangun adalah jalan-jalan yang menghubungkan berbagai kota, membangun
banyak rumah sakit, perkebunan, sehingga sekolah-sekolah nantinya akan dibentuk
untuk menghasilkan sarjana-sarjana teknik, kedokteran, ekonomi. Sementara untuk
program membaca dua puluh lima buku dalam dalam tiga tahun, dikatakan; ‘Ini akan menghabiskan banyak waktu!’ program
ini, DICORET!”
Ternyata
terkaanku kali ini salah, beliau membetulkan posisi duduk bukan untuk melunak. Tekanan
suara beliau mendadak tinggi.
“Program
menulis seratus delapan belas tulisan dalam tiga tahun, dikatakan; ‘Ini akan menghabiskan banyak waktu!’ program
ini, DICORET!”
Tekanan
suaranya semakin meninggi.
“Yang
diagung-agungkan adalah ilmu alam, ilmu pasti, kedokteran, sementara bahasa dan
sasrta… DICORET! Guru-guru yang dibentuk adalah untuk menjuruskan anak-anak
didiknya pada teknik, kesehatan, ekonomi. Sedangkan guru-guru bahasa diarahkan
hanya pada estetika tulisan saja! Dari SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi,
yang dipelajari adalah awalan, akhiran, imbuhan… awalan, akhiran, imbuhan. Itu
itu saja! Jadi tidak heran jika kecintaan membaca dan menulis buku sungguh
sangat memprihatinkan.”
Beliau
membuang napas panjang. Keheningan menggelayut beberapa saat.
“Kami
sudah berhenti protes pada pemerintah, puluhan tahun protes, puluhan tahun
menggugat, hasilnya nihil! Selama tujuh belas tahun belakangan, kami sudah
berhenti protes dan membangkang pada pemerintah. Kami sudah capek, usaha
puluhan tahun kami tidak pernah di dengar. Akhirnya kami melakukannya sendiri
untuk memajukan minat baca, tulis, dan kecintaan pada sastra. Kami telah
memberikan pelatihan pada dua ribu guru SMA dari seluruh Indonesia. Jadi, sasaran
yang harus pertama dibenahi adalah para pengajar, karena selama ini guru-guru
tidak dilatih untuk cinta membaca dan menulis, apalagi sastra. Jumlah SKS baca,
tulis, dan sastra saja di kuliah mereka hanya dua puluh persen.”
Tensi
pembicaraan sudah menurun, sudah lebih santai.
“Selain
pelatihan untuk para pengajar, kami mengadakan sebuah program yang bernama, Sastrawan
Bicara Siswa Bertanya (SBSB). Jumlah sekolah di Negara kita lebih dari dua
puluh ribu, dan kami baru mampu mendatangi tiga ratus sekolah. Selama ini para seniman datang ke
sekolah-sekolah, ada yang membacakan puisi, cerpen, naskah drama, dan berbagai bidang
sastra lainnya. Para siswa benar-benar antusias, mereka bisa bertemu dan
belajar langsung dari Rendra, Ahmad Tohari, Nano Riantiarno, Sutarji C. Bachri,
dan yang lainnya. Anak-anak diminta menyimak dan menuliskan apa yang didapatnya.”
Terkesima,
inilah langkah yang lebih nyata ketimbang banyak berdebat mengenai angka anggaran
pendidikan Negara yang realitanya jauh dari nyata. Terkesima, merekalah teladan
sastra sesungguhnya.
“Kami
juga membentuk sanggar sastra di beberapa sekolah, kegiatannya setiap sabtu dan
minggu jadi tidak mengganggu sekolah, tujuannya supaya murid berminat membaca
dan menulis. Di sanggar itu, wajib ada minimalnya seratus judul buku, satu
komputer, satu printer, dan satu scanner. Sanggar sastra ini haruslah diasuh
oleh guru-guru yang telah lulus mengikuti pelatihan yang dua ribu guru tadi.
Dan tujuh belas tahun ini, kami baru mampu membentuk sanggar sastra di tiga
puluh sekolah dari dua puluh ribu sekolah yang ada.”
Kembali
aku terkesima, saudara-saudaraku yang lain pun kupikir tidak jauh beda. Dapat kubaca
dari air muka mereka.
Beliau
melihat jam di tangan kirinya, aku merasakan waktu telah mendekat untuk
merenggut beberapa menit emas di depan, sepertinya kebersamaan kami akan segera
diceraikan keadaan.
“Masalah
kita adalah memajukan sastra di Indonesia. Dan sumber utamanya adalah minat
membaca dan menulis yang telah tertinggal selama enam puluh delapan tahun. Kami
sudah berhenti protes pada pemerintah. Selama tujuh belas tahun ini kami
bergerak sendiri untuk pekerjaan nyata. Dan saya gembira betul dengan lahirnya
FLP, ini hebat. Masya Allah,
Anggotanya ribuan, hingga ke mancanegara. Saya senang dan bangga dengan Anda, dahulu
bersama kawan-kawan, kami tidak mampu untuk membentuk sebuah organisasi besar
yang bergerak di dunia literasi. Tapi Anda bisa. Dan FLP telah menjadi salah
satu elemen roda penggerak kemajuan baca tulis bangsa, demi bangsa yang maju
dan berkarakter. Kita berdoa dengan betul-betul khusyuk, semoga Allah akan senantiasa
memberi jalan perjuangan ini.”
Beliau
kembali tersenyum, dan matanya menyapa mata-mata kami dengan keteduhan pandangan
seorang kakek untuk cucu-cucunya.
“Anda
masih muda-mudi, cita-cita jadi pengarang itu dalam hidup jadikanlah nomor tiga.
Yang pertama lulus kuliah dulu, senangkan hati orang tua, ridha Allah ada pada
mereka. Yang kedua, bolehlah lirik kiri kanan, yang jelas doanya harus lurus,
yaitu mendapatkan jodoh terbaik. Baru yang ketiga adalah menjadi pengarang atau
sastrawan.”
Beliau
menghela napas pendek.
“Untuk
membentuk karakter penulis, yang terpenting adalah ridha Allah, kemudian jalan
yang menuju ke sana pastilah harus jalan yang lurus, nanti dalam perjalannya
akan datang jalan-jalan lain untuk semua yang kita butuhkan sampai menjadi seorang
penulis. Dan yang tidak kalah penting, Anda harus punya perpustakaan sendiri,
karena dari sanalah kecintaan terhadap buku bisa senantiasa bersatu bersama Anda.”
Aku
merasakan waktu perpisahan sudah semakin mendekat.
“Tidak
akan ada penulis yang hebat tanpa dia membaca banyak buku. Jadi syarat utama
menjadi penulis tentu saja dia harus terlebih dahulu menjadi pembaca.”
Inikah
ucapan pamungkas beliau? Hatiku tidak enak, sepertinya tebakanku akan kembali
berwujud nyata. Dan, Kun! Fayakun… beliau memohon banyak maaf,
karena bukan tidak ingin lebih lama bersama, namun masih banyak hak orang lain
yang perlu beliau tunaikan di tanah istimewa ini sebelum kembali ke ibu kota.
Dan,
di sepanjang menit dari pukul sembilan kurang lima belas sampai pukul sepuluh lebih
tiga puluh, beliau telah banyak berbagi, khususnya tentang kegundahan hati mengenai
minat baca, minat tulis, minat sastra, yang berefek pada melemahnya karakter bangsa
yang justru tidak diberhasil dibangun oleh kurikulum-kurikulum pemerintah di
sekolah-sekolah dengan selogan ‘pendidikan berkarakter’.
Di
menit-menit akhir pertemuan kami, ada kenang-kenangan dari (mungkin
satu-satunya) komikus FLP jogja untuk beliau, pun dari saya dengan memberikan sebuah
buku bersampul biru. Dan, putaran waktu emas bersama beliau menjadi lebih
sempurna tatkala terucap dari lisannya, “Tolong saya minta bukunya dibubuhi
tanda tangan, nama penulis, dan nomor telpon.”
SELESAI.
Kawan,
kita menulis bukan untuk dikenal, bukan untuk dikenang, pun bukan untuk yang
lain. Menulis adalah peperangan, syahid menanti di ujung goresan terakhir pena
kita. Karena, kita menulis untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan para
pendahulu, bersama bercita-cita memperbaiki negeri melalui tinta-tinta emas anak
bangsa.
Ini
tidak menyerupai bahasa ratapan hati, tetapi ajakan untuk bergerak dan beraksi,
bukan berteori apalagi beradu argumentasi.
Mari,
angkat pena… perbaiki negeri.
Yogyakarta
30 April 2013.
Catatan:
Anda tentu sudah tahu, siapa ‘beliau’ yang saya maksud dalam tulisan ini. Jika belum
bisa menebaknya, mungkin bait yang dinyayikan oleh almarhum Chriyse berikut,
yang menemani sepanjang diri ini menulis dan membidani tulisan ini, akan
membuat ada mengerti, siapa beliau sang maestro itu. Beliaulah yang melahirkan
bait-bait ini;
Akan
datang hari, mulut dikunci, kata tak ada lagi
Akan
tiba masa, tak ada suara, dari mulut kita
Berkata
tangan kita, tentang apa yang dilakukannya
Berkata
kaki kita, kemana saja ia melangkahnya
Tidak
tahu kita, bila harinya tanggung jawab tiba
Mohon
karunia, kepada kami hamba-Mu yang hina
Rabbana,
tangan kami, kaki kami, mulut kami
Luruskanlah,
kukuhkanlah, di jalan cahaya sempurna
09.55 | Labels: 3. Artikel, Pena Kun-Geia | 0 Comments
Langganan:
Postingan (Atom)
Search
- Menjadi seperti anak kecil
- Dahsyatnya Bershalawat
- Raja Diraja
- Melihat Rasulullah dalam Tidur
- Selamat Ulang Tahun, Wahai kasihku Rasulullah….
- 70 Malaikat perlu 1000 hari untuk menulis pahala amalan ini
- Diberikan kunci Surga dan diharamkan dari api neraka, mau?
- Ketaqwaan yang Aku Cari, Bukan Kata Kata Basi
- Kata Maestro Sastra Indonesia; Ini BENCANA Besar!
- Wahai Kekasihku
- Proses Kreatif Pembuatan THE LOST JAVA
- Lomba Renensi THE LOST JAVA
- The Lost Java - Kun Geia
- THE LOST JAVA - Testimoni Rini Selly
- THE LOST JAVA - testimoni Dila Saktika Negara
- 1. Puisi (89)
- 12 rabiul awal (1)
- 2. Cerpen (61)
- 3. Artikel (30)
- 4. Pena Laboratory (4)
- 5. Resensi (7)
- 6. Download (2)
- Dzikir (1)
- Fiksi (2)
- Indonesia Bershalawat (5)
- lomba (2)
- muaulid (1)
- Muhammad (1)
- Novel (2)
- Pena Chiaki (1)
- Pena Choop (4)
- Pena Depiyh (15)
- PENA Kahlil Gibran (3)
- Pena Kun Geia (1)
- Pena Kun-Geia (153)
- Pena Langit Senja (7)
- Pena Lies (5)
- Pena Mei (7)
- Pena Sashca (5)
- PENA Tere-Liye (4)
- Rasulullah (1)
- The Lost Java (1)
Arsip
- November 2020 (4)
- Oktober 2020 (1)
- Agustus 2019 (2)
- Februari 2015 (1)
- Mei 2013 (1)
- Agustus 2012 (1)
- Juli 2012 (2)
- Juni 2012 (1)
- April 2012 (2)
- Desember 2010 (1)
- Agustus 2010 (2)
- Juli 2010 (7)
- Juni 2010 (1)
- Mei 2010 (1)
- April 2010 (2)
- Maret 2010 (5)
- Februari 2010 (6)
- Januari 2010 (1)
- Oktober 2009 (3)
- September 2009 (6)
- Agustus 2009 (16)
- Juli 2009 (15)
- Juni 2009 (8)
- Mei 2009 (7)
- April 2009 (26)
- Maret 2009 (15)
- Februari 2009 (34)
- Januari 2009 (22)
- Desember 2008 (1)
- November 2008 (6)
- Oktober 2008 (19)